REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dedy Darmawan Nasution
Komoditas minyak goreng tengah mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Statistik Pusat Informasi Harga Pangan (PIHPS) mencatat rata-rata harga minyak goreng di pasaran 52,7 persen lebih tinggi dari acuan pemerintah sebesar Rp 11 ribu per kg.
Kenaikan yang signifikan ini membuat Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) secara tegas meminta pemerintah untuk melakukan intervensi. Menurut Akumindo, komoditas minyak goreng sebagai bahan baku produksi sangat strategis bagi UMKM di sektor makanan.
Ketua Umum Akumindo, Ikhsan Ingratubun, kepada Republika.co.id, Selasa (2/11), mengatakan, seharusnya pemerintah tidak menerapkan sistem mekanisme pasar khusus untuk komoditas pangan pokok karena menyangkut kebutuhan dasar masyarakat. Terlebih, bagi UMKM yang saat ini kembali meningkatkan kegiatan usaha pasca seiring menurunnya laju penyebaran Covid-19.
Ikhsan menilai, sejauh ini pemerintah cukup berhasil dalam mengendalikan virus corona sehingga berdampak pada pertumbuhan usaha mikro dan kecil. Namun, kenaikan harga-harga bahan pokok dalam beberapa waktu terakhir menjadi kontraproduktif bagi UMKM.
"Tidak bisa dan tidak benar harga pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Itu keliru karena produsen bisa semena-mena terhadap pengusaha mikro dan kecil," kata Ikhsan.
Sementara Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo, mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi besaran acuan harga minyak goreng. Ia menilai, acuan harga minyak goreng perlu dibuat fleksibel terhadap perubahan harga pasar.
Sistem tersebut, menurut Bernard, memungkinkan acuan harga minyak goreng dapat naik atau bahkan turun ketika harga minyak sawit dunia sedang turun. "Permintaan itu telah disampaikan GIMNI sebelum adanya kenaikan harga CPO saat ini," kata Bernard kepada Republika.co.id dalam kesempatan terpisah.
Bernard menegaskan, naiknya harga minyak goreng di dalam negeri saat ini murni akibat kenaikan harga CPO. "Saat ini saja, CPO sudah di sekitar RP 15 ribu per liter," katanya menambahkan.
Meski demikian, Bernard memastikan produsen minyak goreng dalam negeri saat ini tidak mengalami defisit. Pasokan minyak sawit tersedia sesuai kebutuhan dalam negeri bahkan untuk pasar luar negeri.
Soal kemungkinan penugasan khusus (PSO) alokasi minyak sawit untuk produksi minyak goreng, ia menilai sejauh ini tidak ada kelangkaan minyak goreng. "Kenapa yang dibahas adalah PSO? Produksi CPO masih bisa untuk kebutuhan domestik juga ekspor," ujar dia.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, mengatakan, meski tengah mengalami kenaikan, pemerintah memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu khawatir soal potensi kelangkaan minyak goreng di pasaran.
"Harga minyak goreng saat ini tetap mengikuti mekanisme pasar. Saat ini harganya sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga CPO," kata Oke.
Oke mengatakan, pemerintah akan terus memantau harga acuan untuk minyak goreng kemasan sederhana. Sementara, untuk kemasan lainnya tetap mengikuti mekanisme pasar. Menurutnya, langkah menaikkan acuan harga minyak goreng bisa menjadi opsi kebijakan.
"Bisa saja (penyesuaian harga), tapi belum tentu. Yang penting saat ini dengan daya beli masyarakat yang rendah bisa tersedia minyak goreng dengan harga terjangkau," kata Oke kepada Republika.co.id.
Kemendag, kata Oke, masih mengkaji langkah yang paling tepat untuk pengendalian harga saat ini. Berbagai bentuk teknis penyediaan minyak goreng di bawah harga pasar masih dibahas.
"Bentuknya (langkah intervensi harga) belum bisa disampaikan karena masih dibahas," kata Oke.