Selasa 02 Nov 2021 13:48 WIB

Di Balik Isu Bisnis PCR

Benarkah asumsi banyak pembesar yang memanfaatkan bisnis PCR untuk cari untung?

Petugas kesehatan mengambil sampel untuk tes usap RT Polymerase Chain Reaction (PCR) di Skybridge, Bandara SMB II, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (1/11/2021). Untuk meringankan beban masyarakat yang hendak berpergian dan mendorong sektor perekonomian, per 27 Oktober lalu pemerintah secara resmi menetapkan tarif PCR tertinggi di Pulau Jawa-Bali sebesar Rp275 ribu dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa - Bali.
Foto:

Oleh : Abdullah Sammy, Wartawan Republika

Kini, PT GSI berbalik dituding sengaja mencari untung. Nama perusahaan dan tokoh yang terlibat pun ikut diseret-seret. Karena ini adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan di atas segalanya, tentu tudingan tersebut perlu dibuktikan secara fair

Dengan kenyataan PT GSI adalah perseroan terbuka yang dapat diaudit tentu cukup mudah untuk mengetahui fakta sesungguhnya. Apakah memang terjadi pemanfaatan atas bisnis PCR ini secara tidak wajar? Sebaliknya, atau justru ada pihak yang sengaja ingin menggoreng isu sensitif ini untuk kepentingan politis atau yang lain? 

Asumsi memang bisa bergerak liar jika tak dibuktikan. Asumsi bisa berkembang ke arah anggapan bahwa kebijakan soal Covid sengaja dibuat untuk menguntungkan pembesar negeri. Sebaliknya, kita juga membuat asumsi berbeda dengan menerka apa jadinya jika bisnis terkait tes Covid tak melibatkan perusahaan besar yang memiliki sumber daya, jaringan, serta infrastruktur besar. Apakah penanganan atau pengadaan alat bisa cepat menjangkau rakyat? Apakah memang bisnis PCR itu benar-benar membawa keuntungan finansial yang jauh dari kewajaran atau justru sebaliknya? 

Saya pikir terlalu timpang membandingkan keuntungan yang dihasilkan dari bisnis PCR dibandingkan dengan keuntungan perusahaan raksasa dari bisnis utamanya. Lagi pula merujuk pandangan Nohria dan Khurana (2010) bagi perusahaan di level bisnis mature, syarat untuk mampu mempertahankan sustainabilitasnya bukan lagi sekadar ukuran finansial, melainkan pengaruhnya secara sosial. Oleh karenanya, tentu akan lebih bermanfaat bagi perusahaan yang bersinergi dalam PT GSI untuk menghasilkan manfaat sosial ketimbang finansial yang tak seberapa.   

Pada akhirnya, asumsi hanya akan menimbulkan keriuhan di media jika minus pembuktian. Tentu semua tudingan maupun kontra-asumsi mesti dibuktikan secara transparan. Asumsi akan menjadi fitnah yang memiliki konsekuensi hukum jika tak sesuai fakta. 

Namun satu hal yang pasti, kita perlu memberi apresiasi tinggi pada pihak-pihak yang sejak awal telah merelakan waktu, pikiran, tenaga, maupun dananya untuk mengatasi pandemi. Mereka yang lebih banyak bekerja tanpa sorotan. Atau mereka yang tetap bekerja di tengah tudingan.

Agaknya benar juga pernyataan Theodore Roosevelt, 'bangsa yang besar adalah bangsa yang banyak bertindak dibanding berkata-kata'. Semoga kita menjadi bagian dari bangsa yang besar yang lebih percaya tindakan dibanding sekadar perkataan.

Baca juga : Penumpang Pesawat Diwajibkan PCR Jika Baru Vaksin Dosis Satu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement