Senin 01 Nov 2021 20:38 WIB

Cerita 2004 dan Bayangan Konvensi Capres Berakhir Sia-Sia

Konvensi capres pernah dilakukan Golkar pada 2024 dan Demokrat pada 2014.

11 peserta Konvensi Capres Partai Demokrat.
Foto: ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
11 peserta Konvensi Capres Partai Demokrat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika

Penjaringan calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024 melalui mekanisme konvensi yang dilakukan partai politik (parpol) kian intens dibicarakan. Nasdem seperti sudah bulat menggagas penyelenggaraan konvensi dengan narasi akan menghasilkan pemimpin terbaik melalui cara ini.

Baca Juga

Konvensi capres pernah dilakukan Golkar ketika mencari capres untuk 2004 dan Demokrat untuk kontestasi 2014. Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tanjung mengatakan, Golkar menerapkan paradigma baru pada pemilihan umum (Pemilu) 2004. Saat itu, partai bergambar beringin ini menjadi yang pertama kali dalam menggelar konvensi capres.

"Golkar dengan paradigma baru memperkenalkan sistem rekrutmen calon presiden melalui konvensi. Rekrutmen calon presiden dengan konvensi itu adalah yang pertama kali dilakukan," ujar Akbar dalam sebuah diskusi yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Senin (1/11).

Pada 2004, Golkar merekrut 19 capres melalui pendaftaran secara terbuka dan melalui proses seleksi tingkat 1 dan 2. Hingga akhirnya, terseleksi ke sejumlah nama, yakni Prabowo Subianto, Wiranto, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh. Wiranto kemudian keluar sebagai pemenang konvensi dan menjadi capres yang diusung Golkar.

Golkar saat itu melakukan konvensi capres dan bisa mengusung capres sendiri tanpa harus berkoalisi karena telah memenuhi ambang batas. Jika skema yang sama akan diadopsi Nasdem dalam menjaring capres, maka partai besutan Surya Paloh ini perlu melakukan kerja ganda. Nasdem perlu koalisi dengan parpol lain untuk bisa mengusung capres di 2024.

Pengamat politik sekaligus Direktur LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, menilai, rencana konvensi capres yang dilakukan Nasdem tak akan berjalan efektif. Alasannya, Nasdem sendiri tak mampu memenuhi syarat ambang batas guna mengusung capres. Jika tidak ada parpol lain atau koalisi penyelenggaraan konvensi, maka yang ada hanya sia-sia.

"Jika konvensi ini hanya dilaksanakan oleh partai Nasdem, sudah pasti tidak efektif. Karena pemenang konvensi belum punya garansi mendapatkan tiket (capres)," kata Adjie.

Tercatat kursi Nasdem di DPR hanya sekitar separuh dari syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR. Adjie menduga konvensi capres Nasdem akan seperti konvensi capres Demokrat di 2014 di mana pemenang konvensi malah gagal mendapat tiket capres.

"Jika Nasdem jalan sendiri buat konvensi, bisa bernasib dengan Demokrat ketika Pilpres 2014," ujar Adjie.

Adjie menyarankan Nasdem memastikan koalisi partai yang memenuhi syarat ambang batas Capres 20 persen sebelum melakukan konvensi. Hanya saja, membentuk koalisi jauh sebelum Pilpres 2024 tentu bukan perkara mudah.

"Karena koalisi partai harus menyepakati formula bersama yang nyaman untuk semua partai koalisi. Termasuk soal bagaimana cara voting pemenang konvensi capres. Dan kepentingan politik partai yang berkoalisi pun beragam, sehingga menyulitkan," ucap Adjie.

Adjie juga menyoroti wacana konvensi yang digaungkan Nasdem sejak awal akan membuat parpol lain khawatir efek ekor jas (coattail effect) dari capres pemenang konvensi akan kuat asosiasinya hanya dengan Nasdem. Efek ekor jas ialah di mana seorang capres/cawapres mengatrol suara parpolnya. "Sulitnya menemukan partner koalisi yang bisa menyepakati pemenang konvensi," ucap Adjie.

Di sisi lain, Adjie mengamati partai-partai politik dengan raihan kursi DPR yang tinggi (PDIP, Golkar, Gerindra) tak akan menempuh cara Nasdem menggunakan konvensi. Padahal ketiga partai politik besar ini yang mungkin paling efektif menjalankan konvensi capres karena kursi mereka sudah 3/4 dari syarat tiket penuh. Sehingga capres pemenang konvensi lebih punya garansi mendapatkan tiket pengusungan di Pilpres 2024.

"Karena partai-partai ini sudah punya front runner capres yang akan diusung. Misalnya Puan atau Ganjar di PDIP, Prabowo di Gerindra, dan Airlangga di Golkar. Mereka pun tak mau membuat konvensi yang memungkinkan capres di luar partai masuk mendapatkan tiket," tutur Adjie.

Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, sebelumnya menyatakan bakal menggelar konvensi untuk menunjuk satu sosok sebagai capres. Pemenang dalam forum tersebut, disebutnya akan mendapatkan hak menjadi capres untuk Pilpres 2024.  

"Konvensi menghasilkan calon presiden terbaik sebagai pemenang konvensi. Dan yang terakhir, dia memastikan mendapatkan tiket untuk mengantarkan mereka sebagai calon resmi," ujar Surya pekan lalu.

Terkait mekanisme konvensi, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali mengatakan, Nasdem terlebih dahulu akan menjalin komunikasi dengan partai politik yang ingin berkoalisi untuk Pilpres 2024. "Jadi nanti jika kemudian membentuk koalisi di luar, jadi koalisi sebelumnya, lalu diserahkan," ujar Ahmad Ali.

Setelah itu, barulah Partai Nasdem dan koalisinya akan menggelar konvensi untuk menyeleksi bakal capres untuk 2024. Koalisi tersebut akan memutuskan, apakah akan mencalonkan sosok yang diajukan atau tidak.

Namun, jika konvensi tersebut tak menyetujui sosok yang diajukan menjadi capres, barulah partai mendiskusikannya dalam internal koalisi. Hal itu disebutnya merupakan keputusan mutlak dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

"Jika kemudian tidak terjadi kesepahaman antara partai koalisi tentang metode yang akan dilaksanakan secara konvensi, kemudian dilakukan penjaringan yang menjadi domain ketua umum," ujar Ahmad Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement