REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkapkan kekhawatirannya mengenai perpecahan bangsa. Ia menyebut perpecahan bangsa disulut oleh politik.
AHY mengingatkan tiga fenomena yang patut dicermati pada saat ini: politik uang, politik identitas, dan post truth politics. Menurutnya, tiga hal itulah yang berpotensi memecah bangsa.
"We can't afford the price of disintegration. Perpecahan bangsa terlalu mahal harganya bagi kita," kata AHY dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Senin (1/11).
Pernyataan itu disampaikan AHY dalam pidato kunci untuk webinar 'Suara Pancasila' yang diadakan Dewan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat.Webinar tersebut dihadiri ratusan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. AHY mengingatkan segenap warga Indonesia wajib merawat demokrasi dan Pancasila.
"Muda juga adalah perubahan, transformasi besar atau hijrah untuk menjadi lebih baik. Jiwa muda ini menggerakkan kita pada tujuan besar bersama: Indonesia Emas 2045," ujar AHY.
AHY juga menyampaikan generasi muda punya kekuatan guna menjawab tantangan zaman. "Muda adalah kekuatan dalam pikiran dan tindakan untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Muda juga keberanian untuk keluar dari zona nyaman, mendobrak status quo dan berani mengambil keputusan besar," lanjut AHY.
AHY lalu mengajak generasi muda agar berjiwa kritis dan skeptis. Ia tak ingin generasi muda malah turut menebar fitnah. "Sebagai generasi yang paling melek teknologi, think before you speak, think before you share. Jangan sampai jadi bagian dari politik fitnah,” imbau AHY.
Di sisi lain, AHY turut menceritakan pengalamannya selama ini berkeliling Nusantara dan berdialog dengan berbagai elemen masyarakat. Kesimpulannya bahwa Pancasila merupakan titik temu bangsa Indonesia.
"Saya bertemu para tokoh masyarakat, para pemuka agama, dari para ulama di Aceh hingga Uskup Agung di Kupang. Mereka menitipkan pesan yang sama, mari kita bersama-sama merawat dan menjaga Pancasila," sebut AHY.
"Pancasila sudah teruji dalam sejarah, menjadi titik temu, titik lebur perbedaan (kalimatun sawa) di tengah kompleksitas cara pandang kebangsaan masyarakat Indonesia yang majemuk ini," tambah AHY.