Kamis 28 Oct 2021 20:12 WIB

Jaksa Agung Rencanakan Tuntutan Mati dalam Kasus Asabri

Jaksa Agung nilai kerugian negara di kasus Asabri memungkinkan maksimalkan hukuman

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Jaksa Agung Burhanuddin
Foto: Dok Republika
Jaksa Agung Burhanuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berencana menerapkan pidana mati  dalam penuntutan dugaan korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Menurutnya, kasus Asabri yang merugikan negara senilai Rp 22,78 triliun, dan melihat dampaknya bagi kesejahteraan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), maupun Polri, memungkinkan untuk memaksimalkan ancaman hukuman pidana dalam perkara tersebut.

"Oleh karena itu, Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara yang dimaksud (Asabri)," ujar Burhanuddin, dalam rilis resmi yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejakgung) Leonard Ebenezer Simanjuntak, Kamis (28/10). 

Baca Juga

Burhanuddin melanjutkan, tentu saja penerapan tuntutan mati dalam kasus tersebut, dengan memperhitungkan aspek hak asasi manusia (HAM). Keinginan Jaksa Agung tersebut, dikatakan Leonard terucap saat Burhanuddin melakukan kunjungan kerja ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Tengah (Kalteng), Kamis (28/10). 

Dalam kunjungan tersebut, Burhanuddin melakukan briefing dengan para Kepala Kejati, dan Wakil Kajati, serta Kepala Cabang Kejaksaan Negeri. Dalam briefing tersebut, Burhanuddin megingatkan kejaksaan di daerah, harus mengimbangi kinerja Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Kejakgung, dalam pemberantasan korupsi.

Burhanuddin membanggakan kinerja Jampidsus, dalam mengungkap, dan menangani perkara megakorupsi yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya, dan Asabri. "Dua kasus tersebut (Jiwasraya, dan Asabri) sangat memprihatinkan kita bersama," kata Burhanuddin melanjutkan. 

Ia mengatakan, dua kasus korupsi tersebut, tak cuma menimbulkan kerugian negara senilai Rp 16,8 triliun, dan Rp 22,78 triliun. Namun kata dia, sangat berdampak luas kepada masyarakat umum, dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial.

"Begitu juga dalam perkara korupsi Asabri, yang terkait dengan hak-hak seluruh prajurit (TNI-Polri), di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan masa depan keluarga mereka di hari tua," kata Burhanuddin. 

Sebab itu, kata Burhanuddin, untuk memastikan rasa keadilan di masyarakat, kasus-kasus megakorupsi seperti Asabri, layak untuk dipraktikkan hukuman mati. "Tentu saja, dalam penuntutan hukuman mati yang dimaksud, penerapannya harus memperhatikan hukum positif, serta nilai-nilai hak asasi manusia," ujar Burhanuddin.

Dalam kasus korupsi Asabri, penyidikan di Jampidsus, juga menjerat para tersangka dengan sangkaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dari penyidikan, penyidik sudah menyorongkan delapn orang terdakwa ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor). Para terdakwa itu antara lain, dua mantan jenderal, Sonny Widjaja, dan Adam Rachmat Damiri yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) Asabri 2009-2016 dan 2016-2019. Selain itu, Jampidsus juga sudah mendakwa pejabat Asabri lainnya, Hari Setianto, dan Bachtiar Effendi.

Adapun tersangka Ilham Wardaha Siregar, yang juga pejabat Asabri, tak disorongkan ke pengadilan, karena statusnya sudah meninggal dunia. Sedangkan terdakwa lainnya, yakni Benny Tjokrosaputro, dan Heru Hidayat. Kedua terdakwa tersebut, adalah terpidana penjara seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Selain dua pengusaha itu, terdakwa dari pihak swasta yang sudah didakwa terkait Asabri, yakni Lukman Purnomosidi, dan juga Jimmy Sutopo.

Tetapi, dalam penyidikan lanjutan megakorupsi, dan TPPU Asabri, penyidikan di Jampidsus juga menetapkan 10 tersangka korporasi manajer investasi. Masih dalam penyidikan lanjutan Asabri, tersangka perorangan pun bertambah, dengan menetapkan tersangka terhadap Teddy Tjokrosaputro. 

Selanjutnya, Jampidsus menetapkan tiga tersangka perorangan lainnya, yakni Betty, dan Edward Sekky Soeryadjaja yang merupakan terpidana dalam kasus korupsi dana pensiun PT Pertamina 2017, serta Rennier Abdul Rachman Latief, terdakwa terkait kasus korupsi lain di PT Danareksa.

Sementara dalam kasus Jiwasraya, putusan hukum kasus tersebut sudah inkrah di tingkat Mahkamah Agung (MA). Dua terpidana Benny Tjoko, dan Heru Hidayat, sudah menjalani pidana penjara seumur hidup. Sedangkan terpidana lainnya, yakni Joko Hartono Tirto, dihukum 20 tahun penjara, begitu juga Hendrisman Rahim, dan Harry Prasetyo, serta Piter Rasiman. Sedangkan untuk Syahmirwan, menjalani pidana penjara 18 tahun penjara. Hukuman paling ringan, dalam kasus Jiwasraya, yakni Fahri Hilmi. Pejabat OJK tersebut, dipenjara selama 6 tahun. Dalam kasus Jiwasraya, sampai saat ini, juga masih berjalan proses persidangan terhadap 13 tersangka korporasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement