REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kekerasan yang menimbulkan korban jiwa dalam Diklatsar Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi kegiatan 'militer' kampus tersebut. Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina, Andreas Tambah, menilai bahwa keberadaan Menwa tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman.
"Sekarang zaman bukan lagi kekuatan fisik yang harus ditonjolkan, tetapi bagaimana skill mahasiswa itu yang harus diperbaiki. Lulusannya bisa bermanfaat," ujar Andreas kepada Republika.co.id, Rabu (27/10).
Andreas menjelaskan, Menwa pertama kali dibentuk sebagai bagian dari wajib militer di kampus yang pelatihannya diawasi langsung oleh militer. Tujuannya saat itu yakni untuk membela negara dan membangun nasionalisme.
Akan tetapi, tujuan tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Saat ini, negara dalam keadaan aman secara fisik, sehingga tidak perlu mempersiapkan diri untuk berperang dengan melakukan berbagai kegiatan yang penuh dengan kekerasan.
Menurutnya, jika Menwa tetap perlu dipertahankan di kampus, fungsi dan tentunya pelatihannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. "Misalnya, pada saat Covid-19, dilatih saja mengenai kesehatan supaya bisa dijadikan relawan Covid, itu lebih bermanfaat dengan kondisi yang sekarang," katanya.
Adanya pelatihan penuh kekerasan, tambah Andreas, akan menimbulkan kekerasan turun temurun dari senior ke junior yang terus menimbulkan dendam. Mengingat relevansinya yang sudah tidak sesuai zaman, maka ia tidak heran jika Menwa sudah tidak dipertahankan di banyak kampus.
Ia mengingatkan bahwa saat ini perang ekonomi dan tenaga kerja merupakan hal nyata yang dihadapi masyarakat dan tentunya lulusan universitas.
"Sekarang perang ekonomi, jelas yang dihadapi masyarakat kita kan tenaga asing. Kenapa tenaga asing pada masuk? Karena negara-negara asing itu menganggap kita bodoh, makanya masuk ke Indonesia," ujarnya.