REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah telah menyurati Menteri Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) Arifin Tasrif untuk meninjau kembali izin usaha pertambangan batu bara PT Inmas Abadi di kawasan Bentang Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara. "Beberapa bulan lalu saya sudah bersurat ke Kementerian ESDM, meminta meninjau ulang izin PT Inmas Abadi sebab saat ini kewenangan izin berada di kementerian," kata Rohidin, Rabu (27/10).
Pada 2017 pemerintah daerah tidak memberikan izin pertambangan kepada PT Inmas Abadi dan mengurangi luas areal pertambangan karena sebagian besar wilayah usaha pertambangan perusahaan itu untuk koridor gajah. Pengurangan luas areal pertambangan menjadi 4.051 hektare itu tertuang dalam keputusan Gubernur BengkuluNomor I.315.DESDM tahun 2017.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bengkulu Sorjum Ahyan sebelumnya juga menyatakan Gubernur Bengkulu telah menyurati Menteri ESDM terkait perizinan PT Inmas Abadi sebab lokasi tambang batu bara bagi perusahaan itu telah ditetapkan pada 2017 sebagai kawasan ekosistem esensial untuk koridor gajah. Karena itu perwakilan DLHK Provinsi Bengkulu juga mendatangi Kementerian ESDM untuk mempertanyakan proses perizinan serta peninjauan kembali izin pertambangan batu bara PT Inmas Abadi.
"Saat ini PT Inmas Abadi sedang mengurus AMDAL dan telah mengumumkannya melalui media dan respons masyarakat sangat tinggi untuk menolak kehadiran perusahaan itu dan gubernur telah menyurati kementerian ESDM untuk meninjau ulang izin PT Inmas," ujar Sorjum.
Sebelumnya, 64 organisasi non-pemerintah telah bersurat ke Menteri LHK Siti Nurbaya meminta agar ia tidak menerbitkan rekomendasi untuk penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT Inmas Abadi. "Sejak awal izin PT Inmas Abadi diterbitkan kami sudah layangkan protes karena keberadaan tambang ini akan mempercepat laju kepunahan gajah Sumatra dan satwa langka lainnya di Bentang Seblat," kata Koordinator Koalisi Selamatkan Bentang Alam Seblat Sofian Ramadhan.
Ia mengatakan izin PT Inmas Abadi sudah bermasalah sejak diterbitkan karena sebagian besar areal pertambangan berada dalam kawasan hutan yang menjadi habitat terakhir gajah sumatera yang saat ini statusnya kritis atau terancam punah.