REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Desy Suciati Saputri
Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga tes PCR turun harga disambut baik. Presiden hari ini meminta agar harga tes PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menyambut baik hal tersebut. Ia mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan perlu segera melakukan evaluasi tarif PCR.
"Perlu evaluasi tarif PCR tersebut, memang dengan Rp 300 ribu tidak terlalu memberatkan masyarakat," kata Zubairi kepada Republika, Senin (25/10).
Namun, sambungnya, bila memang nantinya harga setelah evaluasi tidak bisa kurang dari Rp 400 ribu, maka pemerintah bisa memberikan subsidi. "Entah Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu. sehingga biaya yang dibayarkan masyarakat lebih murah," ujarnya.
Zubairi menuturkan, tes PCR memang lebih baik dari tes usap antigen. Sebab akurasi dalam mendeteksi Covid-19 lewat PCR lebih tinggi.
"Jadi kalau harga bisa turun tanpa menurunkan kualitas. Itu yang terbaik, artinya bisa dievaluasi apakah bisa turun, atau apakah turunnya dengan subsidi pemerintah," kata dia.
Dalam konferensi pers usai rapat terbatas evaluasi PPKM, Senin (25/10), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku menerima berbagai kritikan dan masukan dari masyarakat terkait kebijakan penggunaan tes PCR untuk transportasi udara. Ia menjelaskan, kewajiban penggunaan PCR ini diberlakukan untuk menyeimbangkan relaksasi yang dilakukan pada aktivitas masyarakat, terutama pada sektor pariwisata.
“Meski kasus saat ini sudah sangat rendah, belajar dari pengalaman negara lain, kita tetap memperkuat 3T 3M. Supaya kasus tidak kembali menguat terutama menghadapi periode Natal dan Tahun Baru,” ujar Luhut.
Selain itu, kebijakan penggunaan PCR tes ini juga diberlakukan dengan mempertimbangkan risiko penyebaran kasus yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan mobilitas penduduk yang semakin tinggi dalam beberapa minggu terakhir ini. Ia pun meminta agar seluruh pihak belajar dari pengalaman di banyak negara dalam menerapkan relaksasi aktivitas masyarakat dan protokol kesehatan.
Kasus di banyak negara tersebut kemudian meningkat drastis meskipun tingkat vaksinasinya juga jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. “Contohnya seperti di Inggris, Belanda, Singapura, dan beberapa negara Eropa lainnya,” tambah dia.
Karena itu, Luhut meminta masyarakat agar tak emosional dalam menanggapi kebijakan penggunaan tes PCR ini. Ia berjanji akan memberikan penjelasan kepada masyarakat jika terdapat kebijakan yang masih belum dapat dipahami.
Lebih lanjut, ia menyebut secara bertahap penggunaan tes PCR ini juga akan diterapkan pada transportasi lainnya untuk mengantisipasi kenaikan kasus di periode Natal dan Tahun Baru. Luhut menjelaskan, selama periode Natal dan Tahun Baru tahun lalu, meskipun penerbangan ke Bali sudah disyaratkan menggunakan tes PCR, namun mobilitas masyarakat tetap meningkat sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan kasus.
“Mobilitas di Bali saat ini sudah sama dengan Natal dan Tahun Baru tahun lalu, dan akan terus meningkat sampai akhir tahun ini sehingga meningkatkan risiko kenaikan kasus,” jelas Luhut.
Luhut menyebutkan, mobilitas 19,9 juta penduduk di wilayah Jawa-Bali diperkirakan akan meningkat ada masa libur Natal-Tahun Baru. Peningkatan pergerakan penduduk yang masif itu perlu diatur dengan protokol kesehatan yang ketat agar tidak meningkatkan risiko penyebaran kasus Covid-19.
"Berdasarkan hasil survei Balitbang Kemenhub untuk wilayah Jawa Bali yang diperkirakan akan melakukan perjalanan sekitar 19,9 juta, sedangkan Jabodetabek 4,45 juta. Peningkatan pergerakan penduduk ini, tanpa pengaturan protokol kesehatan yang ketat, akan meningkatkan risiko penyebaran kasus," katanya.