Selasa 19 Oct 2021 15:08 WIB

PDPI Upayakan Keluhan Long Covid Ditanggung BPJS

PDPI sedang siapkan protokol tanggungan untuk penderita long covid.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Erlina Burhan mengatakan, saat ini pihaknya sedang berupaya agar perawatan pasien dengan keluhan long Covid-19 dapat ditanggung oleh dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Erlina Burhan mengatakan, saat ini pihaknya sedang berupaya agar perawatan pasien dengan keluhan long Covid-19 dapat ditanggung oleh dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Erlina Burhan mengatakan, saat ini pihaknya sedang berupaya agar perawatan pasien dengan keluhan long Covid-19 dapat ditanggung oleh dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Saat ini pengobatan long Covid-19 belum dijamin BPJS.

Hal tersebut, kata Erlina, telah disampaikan kepada otoritas. Terlebih long Covid-19 yamg sering dialami penyintas sudah masuk dalam buku pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Kalau long Covid-19 ada di buku pedoman, maka bakal di-endorse Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan ditanggung BPJS," kata Erlina dalam diskusi daring, Selasa (19/10).

Baca Juga

"Kami sedang persiapkan protokolnya sehingga diakui oleh Kemenkes dan akan ditanggung BPJS. Sudah ada pembicaraan ke situ," sambung Juru Bicara Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) itu. Penyusunan protokol meliputi varian obat dan metode perawatan bagi pasien long covid.

Sebelummya, Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 yang sedang melandai, ada baiknya masyarakat bisa mengenali Long Covid yang dialami para penyintas Covid. "Sampai sekarang ini, banyak para penyintas yang mengeluh tetap saja ada berbagai gejala yang cukup berkepanjangan sesudah dinyatakan sembuh dari Covid-19, beberapa minggu dan bahkan sampai beberapa bulan," kata Prof Tjandra dalam pesan singkatnya, Senin (18/10).

Ia berharap, setiap rumah sakit dan mungkin juga Puskesmas agar menyediakan klinik Pasca Covid-19, berita baiknya hal ini sudah dimulai di beberapa rumah sakit. Pasien yang sudah sembuh dari Covid-19 dan masih mengalami berbagai keluhan dapat dilayani dengan baik di klinik setelah sembuh dari Covid-19.

"Kita perlu melakukan berbagai penelitian tentang pascacovid, baik yang bersifat penelitian ilmiah dasar (“basic science”) dalam aspek biomolekuler dan juga penelitian klinik terapan, termasuk menemukan cara penanganan dan pengobatan terbaik," tuturnya.

Sementara dari kacamata ekonomi kesehatan, harus ada mekanisme keuangan. Hal itu agar pasien pascacovid dapat terus mendapat penangangan medik dengan baik tanpa harus terbebani biaya yang tidak dapat dia tanggung, ini sesuai dengan prinsip “Universal Health Care (UHC)” yang dianut dunia.

Terkait long covid, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan pengumpulan pendapat para pakar dari berbagai negara dalam bentuk Konsensus Delphi untuk membuat definisi keadaan ini, dan telah dipublikasi pada 6 Oktober 2021. Dalam publikasi WHO 6 Oktober 2021 ini ada lima pengertian tentang long covid, yang dalam publikasi ini disebut sebagai post covid.

"Yang dalam bahasa Indonesia kita dapat pakai istilah pascacovid, pertama adalah kondisi pascacovid dapat terjadi pada seseorang dengan status probable atau terkonfirmasi Covid-19," ujarnya.

Kedua, biasanya keluhan yang tergolong pascacovid ini terjadi sesudah 3 bulan dari awal gejala penyakit covid-nya, dan biasanya juga lama keluhan-keluhan pascacovid berlangsung selama setidaknya 2 bulan. Serta tidak dapat diterangkan penyebab keluhannya selain yang mungkin sebagai pascacovid.

Ketiga, gejala dan keluhan yang biasa timbul adalah rasa lemah (“fatigue”), sesak napas dan gangguan kognitif yang dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Keluhannya dapat dalam berbagai bentuk yang amat luas variasinya, seperti nyeri perut, gangguan menstruasi, gangguan penciuman/pengecap, gelisah (“anxiety”), penglihatan kabur, nyeri dada, batuk, depresi, pusing dan demam hilang timbul.

"Gejala dan keluhan dapat juga berupa gangguan saluran cerna baik diare maupun konstipasi dan “acid reflux”, juga bisa sakit kepala, gangguan memori, nyeri sendi, nyeri otot, neuralgia, bentuk alergi baru, gangguan tidur, berdebar debar dan juga telinga berdenging atau gangguan pendengaran lainnya," terangnya.

Keempat, gejalanya bisa bersifat baru muncul, atau langsung muncul sesudah pulih dari keadaan akut serangan Covid-19 dan bisa juga menetap saja sejak awal sakit Covid-19 sampai beberapa bulan kemudian. Kemudian kelima, gejala dan keluhan dapat berfluktuasi berat ringannya, dan dapat juga sementara hilang dan lalu datang lagi, seperti kambuh begitu.

Prof Tjandra menyampaikan, ada empat manfaat utama dari definisi WHO terbaru ini. Pertama, menjadi lebih jelas apa yang dimaksud sebagai long covid.

Kedua, dengan lebih jelas definisinya maka akan lebih jelas juga penanganan kliniknya. Kemudian, masyarakat mengetahui bahwa long covid juga punya aspek ekonomi dan asuransi kesehatan, khususnya apakah keluhan-keluhan yang ada akan dapat ditanggung asuransi dan atau akan dapat menjadi alasan untuk gangguan pekerjaan yang akan dialami pasiennya. "Dan keempat, dengan kemungkinan perkembangan ilmu dan pemahaman kita di masa datang maka mungkin saja definisi kelak diperbarui lagi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement