REPUBLIKA.CO.ID, SAROLANGUN — Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam (FKPS-SAD) kembali menegaskan komitmennya untuk mendorong penguatan terhadap eksistensi warga Suku Anak Dalam (SAD) / Orang Rimba.
Berdasarkan pertemuan yang digelar Kamis (14/10) di Kabupaten Sarolangun, Jambi, para anggota forum yang berasal dari lintas kepentingan itu menegaskan bahwa ada tiga hal penting yang harus didorong buat penguatan SAD.
Ketiga hal penting itu adalah kebutuhan ruang penghidupan, sumber penghidupan dan akses layanan bagi warga SAD yang bermukim di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
“Ini forum yang sangat baik karena melibatkan semua pihak yang konsisten terhadap masa depan komunitas SAD. Sinergi ini menjadi perlu untuk merespons berbagai persoalan sekaligus memecahkan masalah yang dialami SAD,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sarolangun, H Lukman.
Dalam forum tersebut, hadir diantaranya pihak dari pemerintah Kabupaten Sarolangun yang diwakili oleh Bappeda, Dinas TPHP (Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan), Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas PMD (Pembangunan Masyarakat Desa), Camat Air Hitam.
Selanjutnya ada juga dari Taman Nasional Bukit Duabelas, PT Sari Aditya Loka (PT SAL), serta Yayasan Prakarsa Madani yang saat ini berperan juga sebagai sekretariat Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam.
Lukman menegaskan forum yang melibatkan banyak pihak ini menjadi sangat penting dalam mensinergikan aksi nyatanya buat perbaikan nasib SAD. “Kita semua sudah sepakat bahwa perlu adanya sinergi diantara kita semua,” ujarnya.
Namun demikian, Lukman sempat menyinggung adanya sikap arogan dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang bermarkas di Jambi. Lembaga tersebut, dinilai Lukman, sering kali tidak melakukan koordinasi dalam memperkuat warga SAD di wilayahnya.
“Koordinasi ini perlu, seperti saat kedatangan Pak Menteri Nadiem Makarim kemarin,” katanya di dalam forum.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Haidir, menegaskan pihaknya telah membuka ruang bagi warga SAD melalui perpaduan aturan adat dengan aturan negara. Untuk sumber penghidupan, pihaknya telah membagi ke dalam Tapak Keluarga dan Tapak Komunal dalam Zona Tradisional sebagai sumber pangan atau lumbung pangan SAD.
“Kami tegaskan bahwa khusus untuk ketahanan pangan mereka telah diakomodir di zona tradisional Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan,” katanya.
Haidir juga menjelaskan kawasan TNBD ini terbagi menjadi 13 wilayah adat yang berasal dari 13 kelompok temenggung. Total luas zona tradisional 36.000 ha atau hampir 70 persen dari total luas kawasan TN Bukit Duabelas yaitu 54.000 ha.
“Khusus untuk Kabupaten Sarolangun ini ada 6 wilayah adat dari 6 kelompok Temenggung yaitu Nggrip Nangkus Bepayung, Afrizal/Kecinto, Bebayang dan Meladang (digantikan oleh Melayaw Tua). Mereka semua sudah ada di dalam hutan dan mereka sudah lama bermukim di sana, jauh sebelum kita hidup bernegara,” ujar alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini.
Sementara itu, Idris Sardi mewakili FKPS-SAD, memaparkan beberapa agenda program yang akan diimplementasikan melalui kerjasama lintas anggota. Kerjasama tersebut, kata dia, mengarah pada penguatan daya adaptasi SAD dalam menghadapi situasi krisis SDA.
“Antara lain program pangan, rancangan pendidikan alternatif, kesehatan, pemanfaatan zona tradisional untuk sumber penghasilan, pengintegrasian SAD dengan desa, dan sebagainya,” tuturnya.
Hal yang sama juga disampaikan Elwamendri dari FKPS-SAD. Ia menjelaskan forum ini hadir untuk memfasilitasi arahan program yang telah disepakati dari pertemuan sebelumnya.
“Pertemuan ini akan membahas apa yang telah terjadi setahun ini, dan apa yang akan dilakukan setahun ke depan (tahun 2022) yang akan ditindaklanjuti oleh masing-masing anggota forum”, kata Elwamendri