Sabtu 16 Oct 2021 17:02 WIB

Walhi: Tambang Ilegal Dampak Ketimpangan Penguasaan Lahan

Ketimpangan penguasaan lahan berada dalam tahap puncak peminggiran rakyat.

Aktivis Walhi Sumatera Selatan menilai, maraknya tambang Ilegal di provinsi ini dan daerah lainnya merupakan dampak dari ketimpangan penguasaan lahan. Ilustrasi
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Aktivis Walhi Sumatera Selatan menilai, maraknya tambang Ilegal di provinsi ini dan daerah lainnya merupakan dampak dari ketimpangan penguasaan lahan. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Aktivis Walhi Sumatera Selatan menilai, maraknya tambang Ilegal di provinsi ini dan daerah lainnya merupakan dampak dari ketimpangan penguasaan lahan. Belakangan, tambang ilegal menimbulkan berbagai masalah serta korban jiwa.

"Berdasarkan hasil investigasi mendalam terhadap tambang rakyat di sejumlah daerah, masyarakat sudah kehilangan sumber produksi lahan pertanian dan perkebunan akibat ketimpangan penguasaan lahan sehingga mencari sumber ekonomi baru memanfaatkan potensi tambang seperti minyak dan batu bara," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hairul Sobri, di Palembang, Sabtu (16/10).

Baca Juga

Menurut dia, ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat dan korporasi sudah berada dalam tahap puncak peminggiran rakyat atas peri-kehidupan. Penguasaan ruang sumber penghidupan bagi masyarakat telah dikuasai oleh korporasi hingga mencapai 80 persen.

Ia mengatakan, angka tersebut belum termasuk penghancuran wilayah kelola rakyat melalui pemutihan tata ruang untuk industri ekstraktif (tambang, perkebunan dan HTI). Terlebih, pendekatan ekonomi melalui ekstraksi sumber daya alam dan industri ekstraktif terus meningkatkan kapasitas produksinya seiring meningkatnya laju konsumsi industri di pasar.

Ia mengatakan, belum lagi persoalan konflik tenurial penguasaan lahan antara wilayah kelola rakyat dan penguasaan izin industri ekstraktif berdampak pada lingkungan hidup serta kesehatan masyarakat, pencemaran lingkungan hidup, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Salah satu dampak serius yang terjadi adalah perubahan terhadap sosial ekonomi masyarakat di sekitar area pertambangan. 

Ia mengatakan, mereka yang awalnya memiliki pengetahuan pengelolaan sumber daya alam di sektor pertanian dan perkebunan beralih bekerja di sektor pertambangan menjadi buruh dan menciptakan tambang ilegal. Seharusnya, negara memperluas wilayah kelola rakyat agar negara mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat yang telah hilang untuk kesejahteraan rakyat.

Ia mengatakan, apalagi pada masa pandemi COVID-19 ketika negara tidak dapat menjamin ketahanan pangan untuk rakyat akibat ketimpangan penguasaan lahan oleh korporasi tambang dan industri ekstraktif lainnya. Mengenai permasalahan tambang minyak ilegal (illegal drilling) di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel, pemerintah daerah setempat berencana melegalkan tambang rakyat.

"Hal tersebut menurut kami adalah kebijakan yang keliru karena kebijakan tersebut tidak menjawab substansi masalah banyaknya tambang rakyat," ujar Sobri.

Berdasarkan catatan aktivis Walhi Sumsel, dalam kurun waktu September-Oktober 2021 terjadi tiga kali ledakan sumur minyak rakyat di Kabupaten Musi Banyuasin. Ledakan pertama terjadi pada Kamis, 9 September 2021 yang menyebabkan tiga warga setempat meninggal dunia.

Kejadian kedua terjadi pada Selasa 5 Oktober 2021. Pada Senin (11/10), terjadi ledakan di sumur minyak tua rakyat di Desa Kaban 1, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin.

“Permasalahan tambang rakyat tersebut memerlukan solusi yang tepat sehingga rakyat tidak menjadi korban dampak ketimpangan penguasaan lahan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dengan rakyat,” ujar Direktur Walhi Sumsel.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement