REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Kapolresta Tangerang Kombes Polisi Wahyu Sri Bintoro mengungkapkan dirinya siap mengundurkan diri dari jabatannya terkait insiden tindak kekerasan yang dilakukan anggota Satreskrim Polresta Tangerang, Brigadir NP. Hal itu disampaikan saat menanggapi tuntutan mahasiswa dalam demonstrasi yang digelar pada Jumat (15/10) di kawasan Mapolresta Tangerang.
Wahyu mengatakan, pihaknya telah melakukan dialog bersama dengan para mahasiswa yang menuntut pencopotan dirinya, buntut dari aksi Brigadir NP yang membanting MFA (21) saat aksi unjuk rasa berakhir ricuh di depan Kantor Bupati Tangerang pada Rabu (13/10) lalu. Dia menyebut, dalam upaya dialog tersebut, dirinya siap bertanggung jawab.
"Kami sudah membuat surat pernyataan bahwa anggota kami menjadi tanggung jawab bila mengulangi perbuatannya lagi melakukan tindakan yang sifatnya represif atau kekerasan eksesif, saya siap mengundurkan diri," ujar Wahyu saat ditemui di Kabupaten Tangerang, Jumat.
Wahyu menuturkan, pernyataan tersebut dituangkan secara tertulis di atas materai yang disepakati bersama para mahasiswa yang berdemontrasi. Diketahui, sejumlah mahasiswa di Kabupaten Tangerang mendatangi Mapolresta Tangerang untuk melakukan aksi demonstrasi pada Jumat (15/10).
Salah satu peserta aksi demonstrasi, Bayu Rahmat mengatakan, pihaknya mengaku kesal atas tindak represif yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Polresta Tangerang dalam menangani mahasiswa yang tengah melakukan unjuk rasa pada Rabu (13/10), bertepatan dengan HUT ke-389 Kabupaten Tangerang. Terutama terkait adanya insiden dibantingnya MFA oleh Brigadir NP, hingga viral di media sosial.
Bayu mengatakan peserta aksi menuntut Kapolresta Tangerang untuk mundur dari jabatannya. "Kami menuntut pencopotan Kapolresta Tangerang dan pemecatan Brigadir NP dari kepolisian dan meminta kepolisian tidak lagi melakukan tindakan represif terhadap aksi mahasiswa," tuturnya di kawasan Mapolresta Tangerang, Jumat (15/10).
Di area sekitar lokasi demonstasi, tampak polisi memasang barikade dengan menempatkan sejumlah personel kepolisian. Polisi juga memasang kawat berduri di jalan akses menuju Mapolresta Tangerang.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik pedas aksi oknum kepolisian yang membanting seorang mahasiswa di Tangerang hingga rekamannya videonya kemudian viral. Ia menyatakan, aksi kekerasan tersebut tak bisa diselesaikan lewat permintaan maaf saja.
Usmad menyatakan, aksi membanting peserta demo tergolong tindakan kekerasan berlebihan. Ia merasa aksi itu pantas diganjar oleh hukum yang berlaku.
"Membanting seorang peserta aksi damai seperti yang terlihat dalam rekaman video jelas merupakan penggunaan kekerasan yang berlebihan. Pelanggaran seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf saja," kata Usman dalam keterangan pers yang diterima Republika, Jumat (15/10).
Usman meminta petinggi kepolisian menindak tegas oknum personelnya itu. Ia mengusulkan sang pelaku kekerasan terhadap mahasiswa dibawa ke meja hijau agar mendapat ganjaran hukuman setimpal.
"Pihak berwenang harus segera menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak. Dengan bukti-bukti hasil investigasi itulah, pelaku harus diadili di pengadilan umum yang adil dan terbuka bagi masyarakat," ujar Usman.