REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Soedirman Hibnu Nugroho tidak memungkiri adanya perlawanan para koruptor (corruptor fight back) kepada Kejaksaan Agung termasuk menggoyang posisi ST Burhanuddin sebagai jaksa agung.
"Ini bagian dari paragdigma. Paradigma untuk melawan," Ujar Hibnu dikutip dalam Podcast resmi Kejaksaan Agung, Rabu (13/10).
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung saat ini sedang menyelidiki kasus mega korupsi. Antara lain, korupsi ASABRI, Jiwasraya, LPEI, Askrindo Mitra Utama (AMU) dan sejumlah mega korupsi lainnya
Hibnu memberikan saran kepada Kejaksaan Agung dalam menghadapi perlawanan para koruptor yakni konsistensi penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi. Konsistensi yang dimaksud adalah tidak tebang pilih, objektif dan berkelanjutan (sustainable).
"Konsisten saja pemberantasan korupsinya, dengan konsisten, masyarakat akan tahu bahwa ini jaksa betul, bahwa ini jaksa tidak ada kepentingan, sehingga tidak ada kekwatiran dalam masyarakat." ujarnya.
Ia menambahkan, sehebat apapun penegakan hukum jika tidak didukung dan diikuti masyarakat seperti melaporkan dan sebagainya, tidak akan berguna. Karena itu, kinerja jaksa harus berbasis pada kepentingan masyarakat.
"Apa yang diinginkan masyarakat ini artinya politik hukum harus konsisten. jangan sekarang naik, besok turun," tambahnya.
Hibnu menilai kinerja kejaksaan saat ini menunjukan kemajuan yang berarti. Pertama, penanganan kasus dinilai berjalan profesional dan menekankan pada asas dominis litis (pengendali lanjut atau tidaknya perkara).
Kedua, Kejakgung saat ini banyak menangani kasus kasus besar yang merugikan negara dan menyedot perhatian publik.
"Saat ini Perkara besar bukan hanya di KPK, tapi di Kejakgung dan ini kasus-kasus naik terus. Ini cermin jaksa sudah berhasil dengan kemampuannya dan integritasnya," ujarnya.
Hibnu juga mengapresiasi Kejakgung yang terbuka kepada publik terkait penanganan oknum-oknum kejaksaan yang melanggar aturan.
"Contohnya Jaksa Cilacap, diambil (ditangkap), bagus itu, membuat daerah lain berbenah," ujarnya.
Baca juga : Densus 88 Dibutuhkan dalam Penegakan Hukum Teroris
Hibnu juga menyoroti Restorasi Justice yang saat ini dilakukan Kejaksaan. Ia mengatakan Restorasi Justice tidak hanya bisa diterapkan pada Tindak Pidana Umum, tapi juga dalam tindak pidana korupsi.
Dalam penelitianya, ketika ada temuan korupsi, langsung diadakan pendekatan atau mediasi untuk dikembalikan. Hibnu mengatakan pendekatan mediasi menjadi satu hal yang harus dikembangkan para jaksa dimasa depan.
"Kalau istilah hukumnya jangan SPDP dulu, tapi mediasi penal. jadi jangan sampai semua berujung pada litigasi, yang terjadi adalah over kapasitas," ujarnya.
Ia mengakui dalam penerapan Restorasi Justice (RJ) tindak pidana korupsi rawan gesekan dengan para aktivis atau pengiat korupsi. karena itu, perlu ada pembatasan dan konsistensi dalam pelaksanaannya.
"Itu rawan memang untuk dipermainkan. Jadi harus dibatasin. RJ itu ada positif ada negatifnya," tegasnya