Ahad 10 Oct 2021 11:41 WIB

Bara Konflik Kesukuan di Balik Gemerlap PON Papua

Bukan sekadar menjadikan Papua lokasi PON, yang dibutuhkan perubahan lebih mendasar.

Suasana Upacara Pembukaan PON XX Papua di stadion Lukas Enembe, Kompleks Olahraga Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura Papua, Sabtu (2/10). Presiden Republik Indonesia Joko Widodo resmi membuka gelaran PON Papua yang berlangsung hingga 15 Oktober 2021 mendatang. PON Papua mempertandingkan 56 cabang olahraga dengan diikuti sebanyak 6.442 atlet. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Masyarakat lokal

Terlepas dari kasus Yahukimo dan ulah KKB yang makin meresahkan, munculnya berbagai masalah sosial di Papua intinya ada lah penolakan terhadap kebijakan pembangunan, yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal. Dengan menetapkan Papua sebagai lo kasi penyelenggaraan PON XX, di satu sisi memang memberi kesempatan dunia melihat dan mengenal Papua. Namun, lebih dari sekadar menjadikan Papua lokasi PON XX, yang dibutuhkan sesungguhnya perubahan lebih mendasar.

Pengalaman selama ini mengajarkan, pem bangun an bersifat sentralistik dan dipaksakan dari atas, tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai spiritual, perubahan pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal.

Belajar dari berbagai kekurangan dan pengalaman pembangunan di Papua, paling tidak ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan ke depan. Pertama, membangun Papua dengan mengede pankan perencanaan sosial, yang melibatan kepentingan terbaik masyarakat lokal. Perencanaan pembangunan di Papua tidak boleh dilakukan tanpa rasa em pati terhadap kebutuhan masyarakat lokal.

Kedua, melibatkan dan menghargai peran masyarakat adat agar pembangunan tidak menafikan atau memarginalisasi eksistensi masyarakat dan tradisi setempat. Ketiga, memastikan redis tribusi dari kegiatan industrialisasi yang masuk ke Papua dan hasil pembangunan pada umumnya, untuk kepentingan pemberdayaan masya rakat lokal. Pembangunan yang hanya mengeruk sumber daya alam setempat, tetapi manfaatnya kemudian tidak dirasakan masyarakat lokal, maka jangan kaget jika hanya akan memantik resistensi, bahkan perlawanan masyarakat lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement