REPUBLIKA.CO.ID, MERAUKE -- Hari ini adalah Hari Noken. Pada perhelatan PON XX Oktober lalu, noken menjadi souvenir yang paling banyak dicari oleh mereka yang hadir di acara PON itu. PON diadakan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Merauke. “Ada mahkota dari bulu kasuari, koteka, dan lainnya, dan tentu saja noken yang paling banyak dicari,” ujar Micael Henky (36 tahun) pengelola toko suvenir Pondok Ivone Noken saat ditemui di Merauke, beberapa waktu lalu.
UNESCO telah menetapkan noken Papua sebagai Warisan Budaya tak Benda pada 4 Desember 2012. Noken Papua memiliki beragam desain dan nama di masing-masing daerah di Papua. Bahannya pun bisa dari berbagai kulit kayu yang dipilin terlebih dulu di kaki mereka.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kabupaten Boven Digoel melakukan pendampingan masyarakat membuat noken dari kulit pohon melinjo. Pohon melinjo tersedia banyak di hutan produksi di Kabupaten Boven Digoel. Sejak dibentuk 2018, KPHP Boven Digoel telah memfasilitasi 12 kelompok tani binaan di beberapa kampung. Termasuk di antaranya adalah kelompok produksi men dari kulit kayu genimo. Men adalah sebutan noken di Papua selatan. Sedangkan genimo adalah sebutan untuk melinjo.
“Kenapa men mahal harganya? Karena mama-mama bikinnya di waktu luang, memilin kulit kayu di kaki, lalu menganyamnya selama dua minggu baru jadi satu,” ujar Kepala KPHP Boven Digoel Ade John F Moesieri, di Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel, akhir November 2021.
Untuk mendapatkan kulit kayu melinjo, masyarakat Boven Digoel mengambilnya dari hutan produksi di kampung mereka. Tapi, Lementina Abayaka yang tinggal di Merauke, harus membeli kulit kayu melinjo untuk bahan noken yang ia buat.
Satu ikat kulit kayu melinjo harganya Rp 20 ribu. Satu ikat ini, menurut Lementina, bisa dibuat menjadi satu noken ukuran kecil. Noken dari kulit kayu melinjo itu berwarna putih. Harga noken rata-rata berkisar Rp 350 ribu rampai 500 ribu, sesuai ukuran dan kehalusan karyanya.
Lementina belajar membuat noken sejak usia SD sewaktu masih tinggal di kampung kelahirannya, Wamko di Distrik Waroko, Kabupaten Merauke. Pada 1982 ia pindah ke kota Merauke dan hingga sekarang di usianya yang sudah 62 tahun, Lementina masih membuat noken untuk dijual.
Ia membuat noken di sela-sela rutinitasnya melakukan pekerjaan rumah tangga. Itulah yang biasa dilakukan oleh perempuan Papua, sehingga satu noken kecil baru bisa selesai dua hingga tiga hari. Tapi untuk noken besar, Lementina mengatakan, baru bisa selesai tiga sampai empat minggu.
Di masa lalu, Lementina menjelaskan, noken digunakan pula untuk menggendong anak. Tapi sekarang sudah ada kain, sehingga kainlah yang dipakai untuk menggendong anak, menggantikan noken. Tapi fungsi lain dari noken tetap dipakai, yaitu untuk membawa barang. “Dompet, hape, minyak angin, dan lain-lain, bisa dibawa dalam noken,” kata Lementina tentang penggunaan noken untuk sehari-hari.