REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Antropolog Undip Adi Prasetijo menyatakan perlu dukungan multi pihak dalam mewujudkan perlindungan atas hak-hak masyarakat hukum adat Suku Anak Dalam.
"Setiap pihak berperan di bidangnya masing-masing, pemerintah memberikan fasilitas dan infrastruktur, lembaga membantu mengadvokasi, masyarakat pun harus terbuka menerima dan mengakui keberadaan mereka," kata Adi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (4/10).
Menurut dia, masyarakat hukum adat Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba membutuhkan pengakuan terhadap eksistensinya. Pemerintah dan masyarakat perlu mengakui dan melindungi SAD terkait aset-aset, baik itu budaya, sumber daya alam, maupun pengelolaan berbasis tradisional SAD.
Kehidupan Orang Rimba sudah banyak berubah. Menurut Adi yang bergabung di KKI Warsi ini, dahulu orang rimba sangat tertutup. Begitu pula dengan masyarakat di sekitarnya.
"Dahulu, sekitar tahun 1997, Orang Jambi takut untuk bertemu apalagi berkomunikasi dengan Orang Rimba. Tapi sekarang, masyarakat sudah menerima bahkan berinteraksi langsung," kata pria yang akrab disapa Mas Tijok ini.
Saat ini, masyarakat sudah cukup terbuka. Pemerintah pun sudah banyak memberikan perhatiannya terhadap SAD, begitu pula lembaga-lembaga swadaya. Sudah banyak lembaga yang masuk memberikan perhatian terhadap pendidikan, kesehatan bahkan advokasi hukum.
Adi mengapresiasi keberadaan forum multi pihak yang berperan serta memperhatikan keberadaan SAD ini. Namun, ia tetap menyoroti beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurutnya, ada hal yang tidak boleh diganggu dan harus dihormati.
"Keberadaan banyaknya organisasi dan lembaga yang turun itu baik. Namun perlu diingat, bahwa jangan berupaya untuk mengubah mereka. Sebab, ada beberapa kelompok yang memiliki misi mengubah agama dan budaya mereka. Menurut saya, mereka mempunyai hak untuk mempertahankan budayanya," katanya.
"Jangan paksakan mereka mengikuti suku-suku atau masyarakat lainnya. Mereka punya pilihan, kalau ingin berubah harus difasilitasi. Namun pula, jangan dilarang melaksanakan agama dan budayanya,” ujar Adi.
Terkait cara hidup, budaya dan keyakinan Suku Anak Dalam, Adi memandang bahwa masyarakat tak perlu menyama-nyamakan dengan suku-suku lain. Mereka berbeda dan perlu dihormati.
"Saat ini pemerintah sudah memberikan fasilitas-fasilitas, Warsi terus mengadvokasi soal perlindungan aset-aset, maka perlu didorong terus soal perlindungan hak-hak mereka (SAD). Selain itu, stigma negatif terhadap mereka perlu dikikis," katanya.
Adi Prasetijo merasa miris dengan kondisi beberapa Suku Anak Dalam yang masih hidup di antara perkebunan sawit. Menghadapi beragam permasalahan dalam tantangan perubahan zaman. Selain itu, juga menghadapi ancaman terhadap tergerusnya budaya dan keunikan yang dimilikinya.
"Harapan saya sebagai antropolog, mereka tetap dilindungi sebagai kelompok masyarakat adat untuk mengekspresikan sebagai suku yang mempunyai kebudayaan yang unik dan budaya spiritual sendiri," katanya.