Jumat 01 Oct 2021 18:20 WIB

Isu Kebangkitan PKI dan Dua Hasil Survei yang Berbeda

Isu kebangkitan PKI selalu muncul tiap September.

Pengunjung melihat barang-barang peninggalan peristiwa G30S/PKI di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Jumat (1/10). Pada Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober sejumlah warga mengunjungi Monumen Pancasila Sakti untuk berwisata dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa G30S/PKI. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Berbeda dengan SMRC, hasil survei terbaru Media Survei Nasional (Median) menyatakan, sebanyak 46,4 persen responden masih percaya isu kebangkitan komunisme di Indonesia.

"Yang percaya itu 28,5 persen, sangat percaya 17,9 persen, jadi kalau dijumlah yang percaya terhadap isu kebangkitan komunisme di Indonesia, itu 46,4 persen," kata Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun.

Sementara, responden yang tidak percaya terhadap isu kebangkitan komunisme di Indonesia sebanyak 45 persen. Jika dirinci, sebanyak 31,5 persen responden menyatakan tidak percaya, sedangkan 13,5 persen menyatakan sangat tidak percaya. Sementara, responden yang tidak menjawab dan tidak tahu 8,6 persen.  

"Jadi ada selisih cukup tipis begitu sekitar 1,4 persen antara yang percaya dan tidak, tetapi sampai detik ini publik yang percaya ada kebangkitan komunisme itu kurang lebih ada 46,4 persen," ujarnya.

Rico mengatakan, survei juga  menanyakan alasan responden percaya komunisme bakal bangkit. Hasilnya, 12,3 persen menjawab karena adanya tenaga asing china dan proyek-proyek China banyak di indonesia. Kemudian ada 12 persen responden  menyatakan alasan mereka percaya isu kebangkitan komunisme karena ulama banyak ditangkap.

"11,8 persen itu menganggap Indonesia tergantung vaksin dari China, kemudian yang keempat, negara China ingin mencaplok Natuna 9,4 persen, kemudian dianggap China ingin menguasai ekonomi Indonesia 9 persen," jelasnya.

Kemudian responden yang menganggap sejarah komunis dikaburkan ada 6,6 persen, banyak serangan ke penceramah sebanyak 5,4 persen. Selain itu usaha mengganti Pancasila Trisila (4,6 persen), konflik laut cina Selatan (4,5 persen) dan komunis tidak akan pernah mati (1,3 persen).

Sementara itu, responden yang tidak percaya isu kebangkitan komunisme di Indonesia menjawab komunisme dan PKI sudah dilarang di Indonesia sebanyak 18 persen. Sebanyak 14,5 persen responden menjawab PKI sudah tidak ada. Sementara 10 persen responden menganggap komunisme sudah jadi sejarah.

"Indonesia punya Pancasila diangap bisa menjaga 8,5 persen, isu komunisme kepentingan politik 6,6 persen. (yang menganggap) Ini hanya siasat adu domba 5,7 persen, agama di Indonesia dilindungi 4,4 persen, hoaks 3 persen," ungkap Rico

Pengambilan data survei tersebut dilakukan pada 19-26 Agustus 2021. Responden yang dilibatkan dalam survei itu sebanyak 1.000 responden dengan margin of error sebesar +/- 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Sampel dipilih secara random dengan teknik multistage random sampling dan proporsional atas populasi provinsi dan gender. Quality control dilakukan terhadap 20 persen sampel yang ada sesuai dengan standar metodologi.

Berbicara terpisah, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus mengkritik pihak-pihak yang selalu menghembuskan isu-isu terkait PKI setiap September. Apalagi pada tahun ini, isu yang dihembuskan adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) disusupi oleh partai berlambang palu dan arit itu.

"Jangan juga menjadi alasan itu kita selalu gaduh setiap masuk tanggal hari ini. Ini seperti penyakit tahunan jadinya, setiap mau tanggal 30 gaduh dengan isu yang sama," ujar Lodewijk di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/9).

Ia mempertanyakan, banyak pihak yang menghembuskan isu TNI disusupi oleh PKI. Apalagi tak ada indikator yang jelas, jika alasannya adalah pemindahan diorama G30S/PKI di Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad.

"Jadi tentunya tolok ukur dari suatu institusi, apalagi TNI disusupi yang dikatakan PKI. Tentunya kita harus kaji lebih mendalam tidak membuat gaduh tentang kondisi kebangsaan yang sekarang," ujar Lodewijk.

Mantan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu menjelaskan, di TNI juga menerapkan tes ideologi dalam setiap rekrutmen prajurit TNI. Baik itu tamtama, bintara, maupun perwira.

"Juga di satuan ada namanya pembinaan satuan, pembinaan mental, itu semua terdeteksi, memang ada proses seleksi alam yang nanti kita lihat apakah betul seperti itu," ujar Lodewijk.

photo
Jejak Presiden China Xi Jinping - (BBC)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement