REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sebanyak 57 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) akan dihentikan akhir September ini. Berbagai usaha dilakukan pegawai untuk bisa kembali mengabdi di KPK, tapi masih belum menampakkan hasil.
Peneliti Pukat UGM, Yuris Rezha Kurniawan menilai peluang mereka kembali ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kecil. Menurut dia, masalah itu merupakan bagian dari dampak revisi UU KPK yang mengharuskan alih status pegawai KPK menjadi ASN. Namun, dipecatnya 57 pegawai KPK yang sudah diketahui rekam jejaknya tersebut akan berimplikasi kepada kinerja KPK di masa mendatang.
"Kita tidak akan bisa melihat kiprah KPK sehebat dulu karena kondisi yang menimpa KPK hari ini dampak dan implikasi dari dua hal yang sejak awal sudah banyak dikritisi oleh publik," kata Yuris, Rabu (29/9).
Yuris menerangkan, dua persoalan yang menimpa KPK itu, pertama proses pemilihan pimpinan KPK yang secara rekam jejak cenderung bermasalah. Kedua, revisi UU KPK yang mendegradasi independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
"Ke depan, dengan atau tanpa 57 pegawai yang akan dipecat, masih sulit membayangkan KPK bisa segarang dulu dalam memberantas korupsi," ujar Yuris.
Baca juga : Kapolri Ajak 56 Pegawai KPK Gabung Kepolisian Harus Didukung
Padahal, Ombudsman dan Komnas HAM sudah menyebut kalau proses TWK diduga penuh maladministrasi dan pelanggaran HAM. Menurut Yuris, Presiden Jokowi sebenarnya bisa mengambil keputusan sehingga wajar publik berharap presiden dapat memperbaikinya.
Presiden, kata dia, adalah pimpinan tertinggi eksekutif yang melaksanakan perintah undang-undang, sekaligus pimpinan tertinggi ASN. Justru, saat presiden tidak bersikap, publik dapat mempertanyakan perannya dalam dua kewenangan tersebut.
Yuris meyakini, yang bermasalah sebetulnya bukan 57 pegawai KPK tersebut. Tapi, ada upaya-upaya pihak tertentu menyingkirkan 57 pegawai KPK. Seolah poin utama proses alih status mencari segala cara agar mereka tidak lagi bekerja di KPK.
Soal masalah internal pejabat KPK terlibat dalam kasus korupsi dan melakukan pelanggaran etik berat, Yuris meminta KPK introspeksi diri. Khususnya, bagi pimpinan-pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK itu sendiri.
"Dua pimpinan terbukti melanggar etik, bahkan salah satunya etik berat, kuat mengarah tindakan pidana. Mana mungkin KPK jadi lembaga pemberantasan korupsi efektif kalau pimpinan saja tidak zero tolerance terhadap praktik koruptif," kata Yuris.
Selain itu, ia menyoroti kinerja Dewas KPK yang harusnya jadi pengawas internal efektif sebagaimana desain Revisi UU KPK justru seperti macan ompong. Dewas KPK terbukti tidak berani mengambil sikap tegas kepada pelanggaran di internal KPK.
"Dibandingkan Dewas KPK hari ini, justru sistem pengawasan internal KPK sebelum adanya Revisi UU KPK jauh lebih baik karena lebih tegas menghukum internal KPK yang melakukan pelanggaran," ujar Yuris.
Melihat kondisi KPK saat ini, Yuris menilai sudah sangat wajar jika kepercayaan publik terhadap KPK menurun berdasarkan hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia. Namun, publik tetap harus kritis dan melakukan pengawasan.
"Mengkritik kondisi KPK hari ini bukan berarti membiarkan praktek korupsi berjalan di pemerintahan. Bagi publik, yang terpenting negara bertindak nyata dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Yuris.
Baca juga : Sharon Florencia Gantikan Posisi Erick Thohir dalam Sehari