REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertahankan pendapatnya mengenai hari pemungutan suara pemilu pada 21 Februari 2021. Hal ini tentu dengan pertimbangan KPU telah memperhatikan beban kerja jajaran penyelenggara pemilu.
“Menurut saya pihak akhir yang menentukan harusnya tetap KPU. Pemerintah dan DPR tentu bisa saja memberikan masukan terkait tanggal pemilu, tapi yang tahu kondisi di lapangan adalah KPU,” ujar Khorunnisa kepada Republika.co.id, Rabu (29/9).
Menurut dia, hal itu penting terkait dengan kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu. Apalagi, jadwal pemilu itu diusulkan berdasarkan kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu, DKPP, Komisi II DPR, serta Kementerian Dalam Negeri yang tergabung dalam Tim Kerja Bersama untuk Pemilu dan Pilkada 2024 sejak Maret 2021.
Meskipun bukan forum untuk menentukan keputusan resmi, setidaknya masing-masing pihak telah mengetahui berbagai persoalan yang dipertimbangkan dalam menetapkan hari pemungutan suara tersebut. Salah satunya, adanya pelaksanaan Pilkada serentak yang digelar di tahun yang sama, yakni November 2024.
Menurut Khoirunnisa, KPU sendiri harus mendapatkan jaminan agar beban kerja penyelenggara pemilu tetap dalam batas yang wajar. Jangan sampai beban kerjanya berlebihan dan justru merusak substansi pelaksanaan demokrasi langsung.
“Hal ini sebetulnya juga ditegaskan oleh MK bahwa salah satu pertimbangan dalam memilih keserentakan adalah beban kerja penyelenggara pemilu,” kata dia.
Khoirunnisa menangkapkan, usulan pemerintah mengenai tanggal pencoblosan pemilu pada 15 Mei 2024 agar tahapan pemilu bisa menjadi lebih efisien, efektif, dan sederhana. Namun, untuk bisa menyederhanakan tahapan pemilu, pemerintah perlu merevisi peraturan perundang-undangannya.
Alasannya, Undang-Undang (UU) tentang Pemilu maupun Pilkada sudah mengatur jangka waktu pelaksanaan setiap tahapan pemilihan. Bisa saja KPU melakukan penyederhanaan tahapan pemilu, tetapi tetap ada keterbatasan. Misalnya, pemanfaatan teknologi yang juga memerlukan payung hukum lebih kuat di UU.
“Di UU memang didesain tahapan pemilu kita ini panjang,” kata dia.