Rabu 08 Sep 2021 22:34 WIB

Syarat Dana BOS Jumlah Siswa Ditiadakan, Polemik Belum Usai

Nadiem memutuskan tidak akan memberlakukan ketentuan jumlah minimum siswa.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/9/2021). Rapat kerja tersebut membahas Rencana Kerja Anggaran (RKA) Kementerian Mendikbud-Ristek tahun anggaran 2022.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/9/2021). Rapat kerja tersebut membahas Rencana Kerja Anggaran (RKA) Kementerian Mendikbud-Ristek tahun anggaran 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ronggo Astungkoro

JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudrisrek), Nadiem Makarim, memutuskan tidak akan memberlakukan ketentuan jumlah minimum siswa dalam persyaratan penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) regular. Namun, polemik terkait hal ini belum usai lantaran ketentuan tersebut hanya berlaku hingga 2022.

“Setelah kami mengevaluasi ini dan mengingat pandemi ini masih punya dampak yang sangat besar kepada jumlah siswa, jadi kami telah memutuskan di Kemdikbudristek untuk tidak memberlakukan persyaratan ini pada 2022,” kata Nadiem pada rapat kerja dengan Komisi X DPR RI yang disiarkan secara daring, Rabu (8/9).

Nadiem menyebut, ketentuan terkait jumlah minimum peserta didik di suatu sekolah untuk mendapatkan dana BOS reguler merupakan peraturan yang sebenarnya sudah diimplementasikan sebelum dia menjabat. Peraturan itu, kata dia, sudah ada pada 2019 lalu dan belum akan diberlakukan pada 2021.

Dia berharap, dengan belum berlakunya aturan tersebut pada 2021 dan keputusan untuk tidak diberlakukannya aturan tersebut pada 2022 dapat menenangkan masyarakat. Nadiem mengatakan, pihaknya akan terus menerima masukan-masukan terkait persyaratan tersebut dan akan melakukan kajian lebih lanjut terkait pemberlakuannya setelah tahun 2022.

“Apa yang akan terjadi, jadi mohon waktu Bapak/Ibu Komisi X bahwa kami mengkaji ulang lagi bagaimana cara memitigasi beberapa kekhawatiran mengenai kebijakan ini,” kata dia.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai tidak diberlakukannya ketentuan jumlah minimal peserta didik hingga 2022 dinilai belum cukup. “Kalau itu namanya memberi harapan palsu (tak diberlakukan) sampai tahun 2022,” ujar Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi.

Unifah mengatakan, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang terdiri atas Muhammadiyah, NU, PGRI, Taman Siswa, Majelis Nasional Pendidikan Katolik, dan Majelis Pendidikan Kristen Indonesia tetap meminta aturan tersebut dicabut. Sebab, kata dia, itu menyakut hak dasar warga negara.

“Jadi alasan efisiensi itu tidak masuk akal. Karena justru sekolah-sekolah seperti sekolah yang sekarang programnya kementerian itu diberi BOS reguler, BOS afirmasi, BOS kinerja, itu yang tidak efisien,” kata dia.

Menurut dia, pada situasi pandemi seperti saat ini, justru orang yang harus dibela adalah orang miskin, orang yang tidak punya pilihan, dan orang yang tidak memiliki akses ke pendidikan. Alasan efisiensi menurutnya menunjukkan pola berpikir yang sempit. “Tidak efisien dari mana? Apa negaranya sudah bisa menampung semua (murid)? //Kan// tidak,” kata dia.

Karena itu, Unifah menyatakan, pihaknya tidak akan berkompromi dengan aturan tersebut dan meminta agar aturan betul-betul dicabut. Aturan tersebut, kata dia, berdampak pada hak warga negara, hak orang-orang kecil, dan hak mereka yang tidak dapat bersuara.

Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, Arifin Junaidi, menyatakan hal yang sama. Ketentuan jumlah minimal peserta didik bagi sekolah yang dapat menerima dana BOS reguler harus dicabut sepenuhnya. Menurut dia, tak diberlakukannya ketentuan tersebut hingga 2022 tak menjawab persoalan utama, yakni diskriminasi.

Wong masalahnya itu masalah diskriminasi. Apakah tahun 2022 itu diskriminasi itu sudah tidak dianggap penting lagi apa gimana?” kata Arifin.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengapresiasi keputusan tidak diberlakukannya ketentuan jumlah minimal peserta didik bagi sekolah yang dapat menerima dana BOS reguler. Meski begitu, dia meminta jumlah minimal peserta didik tidak dijadikan sebagai standar dalam membuat sekolah menjadi lebih baik lagi.

“Kami minta supaya tidak dijadikan standar menyangkut 60 siswa. Saya yakin Kemendikbudristek bisa merumuskan formula kebijakan lain yang bisa menjadi alat untuk melakukan evaluasi supaya sekolah agar lebih baik lagi, tanpa menggunakan instrumen BOS,” ujar Huda.

Pada kesempatan itu, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Sofyan Tan, mengusulkan agar penundaan kebijakan tersebut tidak hanya sampai 2022 saja, melainkan hingga 2024. Menurut Sofyan, dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk pulih.

Menjawab hal tersebut, Nadiem menjelaskan, seluruh kebijakan dana BOS pada dasarnya berpihak kepada yang paling membutuhkan. Apalagi saat ini alokasi dana BOS di setiap daerah bersifat majemuk, di mana dana yang diberikan dikalikan indeks kemahalan.

Dampaknya, kata dia, satuan pendidikan yang berada di daerah terdepan, terluar, tertinggal (3T) bisa mendapatkan dana yang jauh lebih banyak untuk meningkatkan kualitasnya. “Setiap kali saya dapat masukan bahwa ini bisa berdampak negatif bagi teman-teman yang membutuhkan di daerah terpencil, saya langsung mendengar,” ujar dia.

Mendikbudristek juga menggarisbawahi perihal dana BOS afirmatif. Ia mengatakan, satuan pendidikan yang benar-benar membutuhkan akan mendapatkan sesuai kebutuhannya. Setiap kepala sekolah, lanjutnya, benar-benar memiliki kemerdekaan untuk menggunakan apa yang terpenting bagi sekolahnya.

“Itu adalah satu prinsip dasar, jika ada yang mengancam terhadap prinsip itu maka akan saya dengarkan dan langsung saya putuskan,” tutur Nadiem.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement