Selasa 07 Sep 2021 17:50 WIB

Mendorong Komnas HAM Tetapkan Kasus Munir Kasus HAM Berat

Sudah 17 tahun berlalu, hingga kini dalang kasus pembunuhan Munir tak diproses hukum.

Pengendara melintas di dekat mural tentang aktivis HAM Munir Said Thalib di Jakarta, Senin (7/9/2020). Pada tahun ini, kasus pembunuhan Munir sudah berusia 17 tahun, namun belum diketahui siapa dalang di balik kasus pembunuhan tersebut. (ilustrasi)
Foto:

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usmad Hamid, menilai kasus kematian Munir tergolong pembunuhan politik. Kuat dugaan, kasus ini berhubungan dengan situasi demokrasi saat peristiwa pembunuhan terjadi, yakni putaran akhir pemilihan langsung presiden yang berlangsung kurang dari dua pekan sesudahnya, yaitu 20 September 2004.

"Partisipasi Munir dalam pemilihan presiden putaran pertama pada Juli 2004 bisa menjadi faktor penting dalam mengungkap motif dan faktor yang memicu peristiwa, termasuk efek yang diinginkan aktor intelektual pembunuh Munir dalam arena politik demokrasi elektoral ketika itu," tulis keterangan pers bersama 100 tokoh yang diterima Republika, Senin (6/7).

Usman menganalisis logika pembunuhan politik berbeda dengan  kekerasan politik biasa. Karakteristik  sang korban di sebuah pembunuhan politik sangat mungkin menjadi tujuan dari pembunuhan.

Usman mencontohkan, dalam berbagai pengalaman negara lain, pembunuhan politik kerap menimpa orang-orang yang dinilai berseberangan dengan pemerintah. Munir dikenal kritis pada institusi keamanan seperti militer dan intelijen.

"Munir juga vokal menyuarakan pertanggungjawaban negara untuk mengadili elite-elite tertentu yang berlatar belakang militer, atas sebuah pelanggaran HAM," ujar Usman.

Selain itu, Usman menyatakan kasus Munir harus dapat dijadikan peringatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ia menyebut betapa kotornya perpolitikan Indonesia saat berlangsung persaingan dalam pemilihan langsung presiden yang pertama dalam perjalanan sejarah Indonesia di 2004.

"Kedua, betapa minimnya jaminan keamanan maupun perlindungan hukum bagi pejuang demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan sosial," ucap Usman.

Oleh karena itu, para tokoh mendesak Presiden Joko Widodo untuk berani mengusut aktor intelektual di balik kasus Munir.

"Pengungkapan kasus Munir juga akan menegaskan dihentikannya praktek-praktek kuno dan tidak beradab berwujud penggunaan kekerasan dalam politik di Indonesia," tutur Usman.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan setiap 7 September menjadi Hari Pembela HAM Nasional. Komisioner Komnas HAM bidang mediasi, Hairansyah mengatakan pada setiap 7 September, mengingatkan kita kembali meninggalnya sosok Munir pada 2004 lalu saat perjalanan ke Belanda.

Tragedi ini menjadi catatan buruk pembelaan HAM di Indonesia, seorang aktivis HAM yang dalam perkembangan berikutnya diduga telah dilakukan proses pembunuhan secara tidak sesuai proses hukum.

"Untuk itu, maka 7 September kita menginginkan jadi satu hari memperingati Hari Pembelaan HAM Nasional. Walaupun secara internasional Hari HAM sedunia itu jatuh pada setiap 9 Desember, tapi kita menginginkan pada 7 September jadi Hari Pembelaan HAM Nasional," ujar Hairansyah dalam keterangannya, Senin (6/9).

photo
Tokoh-Tokoh Indonesia yang Jadi Nama Jalan di Luar Negeri - (Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement