Senin 06 Sep 2021 06:04 WIB

Selebrasi Saipul Jamil

Standar moral orang-orang di balik tayangan hiburan TV sepertinya perlu dipertanyakan

Saipul Jamil saat menjalani sidang kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Saipul Jamil saat menjalani sidang kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Kening saya langsung berkerut ketika melihat tayangan di TV yang memperlihatkan Saipul Jamil berkalung bunga saat keluar penjara Kamis (2/9). Lalu, di atas mobil atap terbuka, ia melambaikan tangan bak orang yang sangat dielu-elukan.

Saya ingat-ingat lagi, apa sih kasus yang membuatnya dibui. Alamak, dua kasus serius!

Pertama, kasus pencabulan terhadap siswa kelas 3 SMA yang dikenalnya dari ajang pencarian bakat di TV. Suatu hari pada 2016, remaja berusia 17 tahun itu diminta untuk membantunya membawakan perlengkapan syuting hingga ke rumahnya.

Saipul kemudian minta remaja itu untuk bermalam di rumahnya. Kasus pencabulan membuat pedangdut itu divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Vonis itu diperberat menjadi lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kasasinya juga kandas oleh Mahkamah Agung.

Kedua, kasus korupsi. Saat terjerat kasus pencabulan, ia mencoba mencari jalan belakang untuk mendapatkan hukuman seringan-ringannya.

Baca juga : Menyoal Lampu Hijau KPI ke Stasiun TV Tayangkan Saipul Jamil

Saipul menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebesar Rp 250 juta. Akibat kecurangannya, ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Selebrasi kebebasan Saipul rupanya berlanjut. Seolah sudah ditunggu-tunggu, ia nongol di acara stasiun TV dan kanal Youtube.

Menurut pengakuannya di "Ruang Investigasi", kanal Youtube Adiez Gilang, Saipul tak tahu-menahu agendanya setelah bebas. Ia hanya menjalani agenda dari manajemennya.

Manajemen Ipul tampak gegabah. Mereka tak memikirkan konsekuensi selebrasi berlebihan tersebut.

Komentar pimpinan Ponpes Ora Aji, Gus Miftah, sepertinya mewakili suara banyak orang soal euforia kebebasan Saipul. Ia juga mengingatkan bahwa Saipul itu pelaku, bukan korban. 

Gus Miftah khawatir kasus Saipul kemudian dianggap biasa dan terjadi permakluman oleh masyarakat. Ia menyerukan Saipul untuk bersikap biasa saja, tak berlebihan dalam merayakan kebebasannya, sekaligus memohon ampun karena masih diberi kesempatan oleh Allah Swt.

Menurut Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Nuning Rodiah, selama kontennya mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SS), Saipul masih bisa tampil di TV. Sebaliknya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berada di kutub berbeda.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengajak masyarakat untuk ganti channel ketika ada tayangan TV yang menampilkan Saipul. Boikot yang dilakukan masyarakat akan membuatnya tidak laku di dunia hiburan.

Menurut Retno, media seharusnya memakai perspektif perlindungan terhadap anak dengan tidak memberi ruang bagi Saipul. Mantan narapidana pencabulan sekaligus koruptor itu bukan contoh yang baik bagi masyarakat.

Baca juga : Kaltim Sisakan Dua Wilayah Berstatus PPKM Level 4

Ketika TV dan Youtuber tak berpihak, sanksi sosial pun makin keras tersuarakan. Petisi di Change.org, contohnya, sudah diteken lebih dari 345 ribu warga pada Ahad (5/9) malam.

Sementara itu, kalangan seniman pun tak tinggal diam. Di antara mereka yang mendukung, ada juga yang menentang secara terbuka.

Sineas Angga Dwimas Sasongko yang mengarahkan Filosofi Kopi dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini merupakan salah satu yang bersuara keras menentang. Lewat Twitter, ia mengumumkan Visinema membatalkan pembahasan distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara sebagai bentuk empati dan dukungan buat korban pedangdut yang akrab disapa Ipul itu.

"Mendukung gerakan melawan dirayakannya pelaku kekerasan seksual pada anak di media-media, serta menjadi kesadaran bersama pentingnya media - media yang menghargai anak-anak kita," kata Angga lewat akun Twitter-nya pada Ahad.

Pesan kunci dari Angga itu patut diapresiasi. Saya jadi teringat sewaktu film dokumenter, Leaving Neverland, tayang pada 2019.

Film dokumenter HBO itu menghadirkan kesaksian dua pria, Wade Robson dan James Safechuck, yang mengaku mendapat pelecehan seksual saat masih kecil oleh Michael Jackson. Sejumlah radio di dunia meresponsnya dengan menolak memutar lagu-lagu mendiang King of Pop.

Permintaan audio maupun video terkait Michael Jackson juga dilaporkan mengalami penurunan. Museum di Indianapolis, Amerika Serikat bahkan menyingkirkan semua koleksinya yang merupakan peninggalan pelantun "Thriller" itu.

Lagu-lagu Michael mulai kembali bisa diterima luas setelah gugatan terhadapnya kandas di pengadilan. Kasus yang diajukan Safechuck dan Robson ditolak hakim masing-masing pada Januari 2020 dan April 2021.

Baca juga : Menkominfo Yakinkan tak Ada Kebocoran Data PeduliLindungi

Kalau benar Ipul sudah ditawari kontrak dari lima stasiun TV, seperti yang diklaim kakaknya selaku pihak manajemen, ini namanya bencana moral. Standar moral orang-orang di balik tayangan hiburan TV sepertinya perlu dipertanyakan.

Mungkin mereka menganggap mendatangkan Ipul kembali ke layar kaca bisa mendatangkan cuan. Padahal, bisa jadi sebaliknya. Apalagi, dia dipenjara bukan karena dizalimi, melainkan pelaku kejahatan.

Saipul memang telah menjalani hukumannya, namun kejahatannya di masa lalu berdampak panjang terhadap kesehatan mental korban. Pemenjaraan juga terbukti tidak serta merta memberikan efek jera kepada pelaku pencabulan terhadap anak. Itu yang membedakannya dengan mantan narapidana kasus lain.

Apa itu artinya, Ipul tak boleh kembali jadi penghibur di TV? Menurut saya, boleh saja, tapi tak secepat ini, seharusnya.

Ipul perlu terlebih dahulu mendapatkan rehabilitasi atas perilaku seksualnya yang tidak sehat, seperti kata Zoya Amirin selaku psikolog yang mendalami seksologi. Butuh waktu dan kesungguhan dari Ipul untuk membuktikan dirinya bukan lagi ancaman bagi siapapun sebelum kembali ke dunia hiburan.

Sementara itu, ketika kita tidak bisa berharap banyak terhadap sistem yang ada untuk menegakkan keadilan substansial, itu pertanda sudah waktunya masyarakat yang bertindak. Seperti kata Retno KPAI, boikot saja!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement