Senin 30 Aug 2021 09:37 WIB

Oma Irama, Lapangan Banteng: Kampanye Aneh Zaman Orba

Sepanjang sejarah pemilu Indonesia ghirahnya hanya di panggung, layu di DPR

Oma Irama dalam kampanye PPP berlambang Ka'bah di akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Foto: istimewa
Oma Irama dalam kampanye PPP berlambang Ka'bah di akhir 1970-an dan awal 1980-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan dan Sejarawan Betawi.

Election atau 'pikatan raya'  dalam bahasa Melayu Malaysia, atau pemilihan umum (pemilu) dalam bahasa Indonesia, sebenarnya sudah kita kenal sejak 1918. Kala itu telah dikenal pemilihan, misalnya dari 60 anggota Volksraad, dewan perwakilan, 40 diangkat dan 20 dipilih Komite Pemilihan yang dibentuk Belanda.

Pemilu 1955 juga bukan yang pertama di jaman Indonesia merdeka. Ini arena yang pertama sudah terjadi tahun 1947, yakni pemilihan Senat Negara Indonesia Timur, tatkala itu jaman  Republik Indonesia Serikat.

Khusus utuk pemilu zaman Orde Baru, khususnya Pemilu 1982, memang berlangsung gegap gempita. PPP mendapat giliran pertama kampanye di lapangan Banteng, yakni pada  15 Maret 1982 di daerah pemilihan DKI Jakarta. Harian Kompas kala itu mencatat massa yang hadir 500.000 orang. Kampanye diawali dengan nyanyian Rhoma Irama. Pidato kampanye oleh saya. Masa memenuhi area seputaran lapangan banten hingga tumpah ke bilangan Senen hingga Harmoni. Banyak sekali.

Golkar dapat giliran 18 Maret 1982. Mereka mau mengatasi jumlah massa PPP.. Tampak di lapangan anak-anak berseragam sekolah menengah. Keributan bermula dari sini karena katanya mereka menolak mengisi daftar hadir. Keributan makin menjadi dan panggung kampanye Golkar terbakar. Insiden ini sama sekali tak ada kaitan dengan PPP.

Sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia, gairah kampanye selalu tidak berbanding lurus dengan ghirah perjuangan saat sudah dalam gedung DPR. Kendali partai super kuat mereka batasi kreatifitas para anggotanya yang menjad anggora DPR. Ide-ide tentang kekuasaan lebih besar pengaruhnya dari pada ide-ide tentangdemokrasi. Demokrasi dipahami terbatas pada election saja.

Contohnya aku alami langsung. Pada suatu hari di musim kampanye 1982 saya ke luar kota Jambi. Dari kota itu kami menuju lokasi dengan mobil kampanye yang sudah dilengkapi dengan sound system. Setelah perjalanan sekitar dua jam jam dari kota Jambi, kami pun tiba di lokasi. Sepi nian lokasi itu. Tak ada sesiapa. Tapi panitia tetap bekerja siapkan sound system. "Ayo Pak Ridwan saya bantu naik ke atap mobil. Bapak pidato di situ. Tak ada podium, Pak," Kata panitia.

Ridwan Saidi: "Pidato? Massanya mana?"

Panitia: "Sini, pak, tengok ndak di balik sawah?" Kata panitia menunjuk-nunjuk.

Aku ikuti arah telunjuknya. Benar saja ratusan ibu-ibu pada berjongkok di balik sawah dalam jarak 50 meter dari kami. Maka dengan dibopong panitia aku berhasil berdiri di mobil didampingi dua orang panitia.

Aku memekik: "Allahu Akbar!" Tak terdengar sahutan. Aku merasa ini macam pidato di radio.

Dalam perjalanan pulang panitia menjelaskan kenapa rakyat tidak mendekat/ Katanya,"Itu syarat dari yag berwajib waktu memberi izin kampanye. Massa pengunjung harus berjarak 50 meter dari panggung pembicara."

Ridwan Saidi: "Kok ada syarat macam itu?"

Panitia: "Ya, karena Pak Ridwan jadi juru kampanye. Yang pidato."

Ridwan Saidi: "Kok kamu turut, kenapa tidak batalkan saja?"

Panitia: "Karena kami tak mau menyerah, Pak!"

Tak mau menyerah..? Sadap nian nih ghirahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement