Kamis 26 Aug 2021 07:11 WIB

Amendemen: Onlogische logica, Logika yang tak logis

Bahasa orang masa reformasi.

Suasana kerusuhan Reformasi 1998 di Jakarta (6/11/2018).
Foto: Republika
Suasana kerusuhan Reformasi 1998 di Jakarta (6/11/2018).

IHRAM.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Sejarawan dan Budayawan Betawi

Tersangka pencuri bantuan sosial (bansos), divonis 12 tahun penjara. Dalam pertimbangannya hakim nemberikan logika besarnya hukuman yang cuma 12 tahun karena pelaku banyak dihujat publik.

Berdasar alur logika ini, jika pelaku naik banding, lalu hujatan makin menjadi-jadi, maka kemungkinan hukuman bisa di-korting tinggal separo. Lalu, jika pelaku ajukan kasasi dan hujatan kepadanya makin gila-gilaan, besar kemungkinan pelaku bebas. Alur logika yang tak logis.

Demi berbeda dengan Pak Harto, Ketua MPR yang berhasrat ubah lagi UUD 45 dalam usulnya pakai istilah Pokok-Pokok Haluan Negara dan bukan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Mungkin istilah GBHN bekas Pak Harto, orang reformasi ogah. Ketua MPR mau yang ngejreng. Walau sebenarnya kedua nomenklatur itu tak mempunyai perbedaan prinsip, tapi beda dalam jiwa bahasa. Pokok-pokok memerlukan penjelasan, garis-garis besar memerlukan perincian.

Seperti istilah barang siapa dan siapa saja secara hukum dapat dibedakan. Barang siapa subjek yang pasti atau proper name, siapa saja itu common name.

Berbahasa itu aktivitas logika!

Di era reformasi yang nyaris langka penggunaan logika, indikasinya pada penggunaan bahasa. Umumnya orang-orang reformasi berbicara dalam forum resmi atau bukan dengan sintaksis jelek, vocal presentation buruk, gramatika acak-acakan, pronounsi tidak standar, jiwa bahasa tak ada. Dipastikan warga asing yang studi bahasa Indonesia akan kelimpungan dengar orang reformasi bicara.

Sebenarnya sejak awal pembentukan bahasa Indonesia indah dan santun. Tidak ada bahasa etnik di Indonesia yang memiliki kata kerja asli yang dapat diartikan bersetubuh. Semua bahasa resapan. Juga nama-nama perkakas kelamin. Kata-kata dimaksud banyak berasal dari bahasa Melani, Kep Samoa.

Ketika manusia Indonesia masih berada dalam zaman cave life (kehidupan goa) sedikitnya 9.000 tahun lalu (Bernard Grunn, 1984), bahasa yang digunakan cukup santun. Gua harimau sumatra, gua-gua Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan NTT, memiliki ragam hias telapak tangan. Itu simbolisasi salam, atau dalam bahasa goa: TABE. Tabe semua!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement