REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyayangkan hingga saat ini kaum perempuan masih banyak menemui tantangan akibat mengakarnya budaya patriarki atau lebih mengutamakan laki-laki ketimbang perempuan.
"Hal ini bukan karena perempuan lemah, tetapi akibat masih mengakarnya budaya patriarki di tengah masyarakat," kata dia pada diskusi daring dengan tema "Menguatkan Arah kebijakan dan Strategi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan 2022" yang dipantau di Jakarta, Selasa (24/8).
Budaya patriarki tersebut, kata dia, tidak hanya menempatkan perempuan dalam berbagai kondisi timpang, tetapi juga memosisikan perempuan terhadap situasi rentan, salah satunya praktik-praktik kekerasan. Dia mengatakan berbagai data dan fakta di lapangan telah menggambarkan betapa seriusnya Indonesia terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Hal tersebut dapat dilihat dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional. Misalnya, satu dari tiga perempuan usia 15 sampai 65 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual selama hidupnya.
Begitu juga Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2018 menunjukkan dua dari tiga remaja laki-laki dan perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, emosional maupun kekerasan seksual sepanjang hidupnya. Kemudian, merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) sepanjang Januari hingga Agustus 2021 tercatat 4.212 kasus kekerasan pada perempuan dewasa dan 6.248 terhadap anak. Sedangkan data kekerasan terhadap perempuan yang diterima melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (Sapa) 129 tercatat 2.839 telepon yang diterima oleh operator.
"Seiring kemajuan teknologi komunikasi, justru ada kecenderungan meningkatnya kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang secara daring," ujar Menteri Bintang.