Selasa 03 Aug 2021 05:55 WIB

Hari Survei Politik di Indonesia dan Kisah Sebuah Kafe

Survei politik membawa SBY-JK menjadi presiden dan wapres dan Golkar menang di 2004.

Denny JA
Foto:

Oleh : Denny JA, Kolumnis/Akademisi/Konsultan Politik

Di tahun yang sama, 2004, juga akan berlangsung pemilu presiden. Ini pemilu pertama dalam sejarah Indonesia untuk kasus presiden dipilih langsung.

Saya memegang data yang tersembunyi. Memang jika dilihat dari elektabilitasnya, Megawati jauh di atas SBY.  

Saat itu Megawati Presiden Indonesia. Ia memimpin partai besar: PDIP. Ia anak Bung Karno.

Sementara SBY tokoh sentral  Demokrat, partai yang sangat baru. Partai kecil. SBY juga dari militer. Indonesia saat itu baru saja lepas dari Dwi Fungsi ABRI. Militer tak populer.

Tapi saya memiliki data lain. Jika ditanya kepada seluruh rakyat Indonesia saat itu; dalam survei, Megawati memang jauh di atas SBY.

Tapi jika hanya di segmen pemilih yang kenal dengan SBY dan kenal Mega saja, SBY mengalahkan Megawati dengan jarak 10 persen.

Saya pun menghadap SBY. Saya katakan Ia akan menjadi the next president. SBY kaget juga mendengarnya. Tapi SBY mengetahui reputasi saya ketika mengabarkan kemenangan Golkar yang sebelumnya juga dianggap mustahil.

“Pak SBY kini kalah dari Megawati karena Mega dikenal oleh lebih 90 persen pemilih. Sementara yang mengenal SBY hanya dibawah 50 persen.”

“Jika Pak SBY dikenal mendekati Megawati, Megawati akan kalah.” 

Berbeda dengan banyak politisi lain, SBY cinta ilmu pengetahuan. Ia pun meyakini survei.

“Ini strateginya Pak. Pak SBY capres kuat tapi tak punya partai yang kuat. Golkar partai yang kuat, tapi tak punya Capres yang kuat.”

“Saya punya strategi. Pak SBY dikawinkan dengan Golkar. Bagaimana?”

Pak SBY menyetujuinya. Sayapun mengatur perjumpaan SBY dan Akbar Tanjung. 

Kami berjumpa beberapa kali. Akbar Tanjung acapkali ditemani Bomer Pasaribu. SBY acapkali ditemani oleh Kurdi Mustofa.

Setiap kali berjumpa saya selalu menyampaikan data hasil survei.  Saran saya: SBY  Capres, Akbar Tanjung Wapres. Golkar maju bersama Demokrat.

Mungkin lima kali pertemuan dibuat. Saat itu, Golkar juga merencanakan Konvensi Capres Partai Golkar. Akbar merasa bisa menjadi Capres dari partainya sendiri.

Singkatnya perkawinan SBY dan Akbar Tanjung batal. Tapi saran saya SBY tetap maju dengan mengambil sentimen pendukung partai Golkar tetap. Posisi Akbar yang awalnya diplot menjadi Cawapres SBY akhirnya diganti Jusuf Kalla sebagai Cawapres.

Jusuf Kalla juga tokoh Golkar, yang saat itu cukup menonjol.

Kampanye Pilpres 2004 dimulai.LSI yang saya pimpim acapkali menyatakan dalam konferensi pers bahwa SBY akan menjadi presiden.  

Banyak yang skeptis tak percaya. 

Akhir dari Pilpres 2004 sudah kita ketahui. SBY- JK sesuai hasil survei LSI memenangkan Pilpres.

Reputasi saya selaku pemimpin lembaga survei melonjak kembali.

-000-

Dua peristiwa di atas, pemilu legislatif 2004 yang Golkar menang, dan pemilu presiden yang SBY menang, menjadi modal besar saya masuk ke dalam pilkada 2005.

Ini pilkada pertama dalam sejarah Indonesia: kepala daerah dipilih langsung.

Jusuf Kalla sang wakil presiden di bulan Desember 2004 juga terpilih sebagai ketua umum Golkar.

Saya pun datang, minta waktu, bertandang kepada Jusuf Kalla, Ketua Umum Golkar yang baru.

Saya mengingatkan betapa ilmu pengetahuan, melalui survei opini publik dapat memprediksi kemenangan SBY-JK berbulan sebelum pilpres 2004.

Tahun 2005 ini, pertama kali akan dilakukan pilkada, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Golkar dapat memulai tradisi baru, menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan untuk pertarungan politik praktis di pemilu.

Setelah eksplorasi intens, Jusuf Kalla setuju. Ia hanya memberi dua nama. Silahkan Denny kontak Andi Matalata dan Ruly Chaerul Azwar. 

Kata Jusuf Kalla, “Kita  ini di samping berpolitik juga lama di bisnis. Inovasi dan mencoba yang lebih maju itu keharusan.”

Saya pun menemui Andi Matalatta dan Ruly Chaerul Azwar. Tapi lebih banyak Rully yang menetap di kantor Golkar.

Setelah beberapa kali bulak balik memperbaiki naskah kerja sama, datanglah itu sejarah.

Tanggal 30 Maret 2005, menjadi monumen berubahnya politik pemilu di Indonesia. Pertama kali sebuah partai secara sistematis dan terpadu menggunakan lembaga survei untuk rekruitmen kepala daerah.

Tak semua happy, tentu saja. Banyak ketua Golkar daerah tingkat provinsi dan kotamadya/ kabupaten (Ketua DPD) berkelakar sambil mengeluh. 

“Wah, LSI dan Pak Denny sekarang lebih berkuasa dibanding kami-kami ketua DPD. Bukan kami yang menentukan calon kepala daerah di wilayah kami, tapi survei LSI.”

Itulah kisah di balik  momen tanggal 30 Maret 2005. Melihat efek dan sejarahnya, layak kiranya 30 Maret dipilih sebagi Hari Survei Politik Indonesia.

-000-

Suatu ketika William Shakespeare berkata: “Opinion is the mistress of success.”

Kutipan Shakespeare ini bisa diplesetkan menjadi “public opinion is the mistress of a political leader.”

Mistress dalam kutipan itu ditafsir sebagai kekasih gelap. Memiliki opini yang baik di mata publik itu ibarat memiliki kekasih yang dicintai, walau kekasih gelap.

“Istri yang sebenarnya” dari seorang pemimpin bukan public opinion, tapi meningkatnya kualitas hidup masyarakat. 

Tapi bukankah kini sulit kita menganggap seorang pemimpin sukses jika opini publik atasnya buruk?

Public opinion semakin powerful. Kita pun sampai pada zaman yang slogan pertarungan pemilu demokratis: “lembaga survei di tangan kananku. Dan konsultan politik di tangan kiriku.”*

Agustus 2021

CATATAN

(1) Coffee House ternyata memiliki kontribusi besar berkembangnya tradisi opini publik

https://en.m.wikipedia.org › wikiWeb resultsEnglish coffeehouses in the 17th and 18th centuries ...

(2) Literary Digest berkontribusi sangat besar bagi tradisi survei opini publik, walau di tahun 1936 prediksinya salah fatal.

https://en.m.wikipedia.org › wikiWeb resultsThe Literary Digest - Wikipedia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement