Selasa 03 Aug 2021 05:55 WIB

Hari Survei Politik di Indonesia dan Kisah Sebuah Kafe

Survei politik membawa SBY-JK menjadi presiden dan wapres dan Golkar menang di 2004.

Denny JA
Foto:

Oleh : Denny JA, Kolumnis/Akademisi/Konsultan Politik

Bagaimana di Indonesia? Kapan momen paling penting untuk dijadikan hari survei politik?

Saya pun mengontak Rully Chaerul Azwar dari Partai Golkar. Saya ingin konfirmasi. Kapankah LSI Denny JA kontrak pertama kali, 200 wilayah, untuk survei pilkada, pemilihan kepala daerah, pilkada langsung yang pertama di Indonesia?

“Seingat saya bulan Maret tanggal 30, 2005. Mohon cek, ya bro.” Itu pesan saya pada Rully.

Rully minta waktu seminggu untuk mencari berkasnya. Bersama Andi Matalata, saat itu, Rully menjadi ketua tim pemenangan Golkar.

“Konfirm bro; 30 Maret 2005.” Itulah jawaban Rully. “Saya sudah cek beberapa berkas.”

“Bro,” ujar saya. “Jangan lupakan momen tersebut. Itu momen bersejarah. Bro saksi dan pelakunya.” Ujar saya.

“Walau yang tanda tangan kontrak survei opini publik untuk 200 wilayah itu saya (Denny JA) dan Andi Mattalata, tapi Rully yang mengawal dan merumuskan detail kontraknya.

Mengapa saya memilih 30 Maret sebagai hari survei politik? 

-000-

Saya membandingkannya dengan suasana insan film. Saat itu mereka juga akan memutuskan hari apakah yang dipilih untuk Hari Film Nasional.

Ada tiga hari kandidat kuat. Pertama 30 Maret 1950. Inilah hari pertama insan film merekam film Darah dan Doa. Sutradaranya Usmar Ismail.

Ini hari ketika perusahaan nasional Indonesia sendiri yang merekam film, oleh orang Indonesia sendiri, untuk film yang juga bercirikan Indonesia.

Kandidat kedua tanggal 19 September 1945. Bung Karno memberikan pidato di hadapan khalayak ramai. Ini momen memperingati satu bulan proklamasi.

Itu bukan era damai. Jepang dan Belanda belum menerima kemerdekaan Indonesia. Tapi pekerja film dari Berita Film Indonesia, dengan berani, mengambil semua risiko, merekam peristiwa itu.

Di tahun 1964, ketika gerakan budaya kiri Lekra berjaya, kelompok kiri ini juga mengusulkan. Hari film sebaiknya diambil dari lahirnya PAPFIAS (Panitia Aksi Pembokoitan Film Imperialis Amerika).

Ini aksi yang dianggap berhasil menghentikan pemutaran aneka film Amerika Serikat di Indonesia.

Mengapa akhirnya hari shooting film nasional Darah dan Doa yang dipilih sebagai hari film nasional? Lebih dari yang lain, itu momen  film nasional yang lebih lengkap.

Bukan saja film nasional pertama kalinya dilahirkan, dilihat dari perusahaan pembuatnya, sutradara dan pemainnya,  tema kisahnya, tapi juga diputar komersial.

-000-

Tanggal 30 Maret layak dipilih sebaga hari survei politik karena dua alasan.

Alasan pertama, Ia membuka pintu gerbang dunia baru. Untuk pertama kalinya secara kelembagaan pertarungan politik praktis dalam pemilu dikawinkan dengan riset ilmu pengetahuan, di Indonesia.

Belum pernah terjadi secara resmi sebuah partai politik menjadikan survei opini publik sebagai bagian pemenangan pemilu/pilkada, secara massif.

Belum pernah terjadi sebuah partai melakukan kontrak dengan sebuah lembaga survei untuk melaksanakan riset opini publik sebagai bagian memenangkan pemilu.

Momennya memang tepat. Kontrak massif 200 survei opini publik di 200 wilayah seluruh Indonesia itu terjadi di tahun 2005. Tahun 2005 memang tahun pertama kepala daerah dipilih langsung.

Tradisi yang dimulai tanggal 30 Maret 2005 ini terus berlanjut semakin intensif hingga kini. Tak hanya Golkar, hampir semua partai sekarang menggunakan lembaga survei.

Tak hanya LSI Denny JA, sekarang juga menjamur banyak lembaga survei dengan kualitas yang beragam.

Asalan kedua, momen 30 Maret ini lahir dan dimungkinkan karena dua peristiwa besar lainnya.

Dalam pemilu legislatif tahun 2004, Partai Golkar banyak diserang kaum terpelajar.  Tahun 2004 baru berjarak enam tahun sejak jatuhnya Orde Baru, 1998.

Golkar bagaimanapun dianggap identik dengan Pak Harto yang baru saja ditumbangkan. Maka PDIP, partai alternatif, dalam pemilu 1999 menjadi nomor satu dengan perolehan tertinggi di era pemilu reformasi: 33,74 persen.

Di tahun 2004, slogan “Jangan  pilih Golkar selaku sarang politisi busuk” menjadi kampanye banyak aktivis dan kalangan terpelajar.

Saya saat itu sudah mendirikan dan memimpin Lembaga Survei Indonesia (LSI). Kami sudah melakukan beberapa kali survei nasional.

Data yang kami punya, di tahun 2004, sebelum pemilu dilaksanakan, PDIP sangat merosot. Harapan publik pada PDIP di tahun 1999 terlalu tinggi. Akibatnya publik mudah kecewa.

“Wah,” saya terkejut melihat data. Golkar kemungkinan kembali nomor satu.”

Saya pun mencari waktu menghadap Akbar Tanjung, ketua umum Golkar saat itu. Saya sampaikan prediksi Golkar akan juara kembali.

Saat itu, survei opini publik barang baru. Tak banyak elite politik percaya. Terkesan Akbar Tanjung juga tak percaya. Namun selaku tuan rumah, Ia ingin sopan pada saya, anak muda, yang menggebu-gebu memberitakan kemenangan Golkar.

“Dik Denny, kan Golkar sekarang dalam serangan gencar. Stigma Orde Baru menyulitkan kita. Kok bisa menang?” Tanya Akbar berulang- ulang.

Saya katakan, “Pak, yang marah dengan Golkar itu kalangan terpelajar. Definisi pemilih terpelajar itu: mereka yang menjadi mahasiswa, S1, S2 ke atas. Jumlah mereka hanya 10 persen, pak!”

“Yang paling banyak itu wong cilik. Mereka yang hanya tamat SD atau SMP. Jumlah mereka 60-70 persen.”

“Golkar tak populer di kalangan 10 persen terpelajar. Tapi paling populer di segmen Wong Cilik yang pendidikannya hanya SD, SMP.” Saya yakinkan Akbar Tanjung dengan bersemangat.

Kembali Akbar menggali: “Kan Wong cilik itu segmennya PDIP. Kok bisa Golkar yang menang?”

“Itu dulu, Pak. Sekarang di tahun 2004, wong cilik hidupnya tambah susah. Mereka marah. PDIP mulai kalah di segmen ini.”

Akbar tak terlalu berhasil saya yakinkan. Tapi selaku politisi, Akbar merasa informasi saya ini bagus untuk semangat kawan-kawan Golkar di daerah.

Saya pun banyak diundang Golkar daerah untuk presentasi hasil survei.

“Abakadbra.” Dalam pemilu 2004, PDIP benar-benar merosot. Dan Golkar kembali nomor 1.

Reputasi saya selaku pemimpin lembaga survei mulai berkibar di kalangan elite.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement