REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembahasan RUU PKS dihadapkan pada sejumlah kendala. Salah satu kendala utamanya adalah benturan ideologi.
"Apa kendala utamanya, kendala utamanya perbenturan ideologi, perbenturan cara pandang," kata Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Willy Aditya, dalam diskusi daring, Rabu (28/7).
Namun demikian dirinya melihat kedua belah pihak sama-sama ingin memuliakan perempuan dan anak-anak, menjaga kehormatan kaum perempuan dari predator, serta menyelamatkan perempuan dari pelanggar norma, adat istiadat, dan hukum.
Selain itu, Willy menjelaskan, secara historis narasi terkait kekerasan dan seksualitas telah sejak lama muncul. Kedua narasi itulah yang saat ini tengah diformulasikan dalam RUU PKS.
"Tapi narasi yang lain, faktualnya kekerasan itu angkanya naik signifikan. Bahkan di era kita bertransformasi ke digital di tengah pandemi ini, kekerasan seksual meningkat signifikan," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk menjembatani perbedaan cara pandang yang ada, sebagai ketua panja dirinya berupaya membangun komunikasi dengan seluruh pihak. Melalui dialog diharapkan perbedaan persepektif yang ada bisa diselesaikan.
Panja sudah menggelar empat kali rapat dengar pendapat umum (RDPU). Sejumlah pihak baik yang kontra maupun yang pro sudah diundang untuk menyampaikan masukannya kepada panja.
"Ketika kita memiliki perspektif yang berbeda dialog menjadi jembatan utama menyelesaikan itu dan fakta empirik di lapangan membuka mata kita untuk kemudian bagaimana ruu ini menjadi uu," ungkapnya.
RUU PKS merupakan RUU usulan baleg DPR. Willy mengatakan sebelumnya RUU tersebut usulan Komisi VIII DPR, namun tidak selesai. "Dari segi posisi legislasinya, justru RUU PKS ini diselamatkan oleh Baleg," tuturnya.