Rabu 28 Jul 2021 20:40 WIB

Realisasi RUU PKS Berada di Pundak Para Legislator

Masih terjadi perbedaan pandangan terkait dengan RUU PKS di legislatif

Masih terjadi perbedaan pandangan terkait dengan RUU PKS di legislatif. Ilustrasi pelecehan seksual
Foto:

Karena itu, ujarnya, hasil Musyawarah KUPI pertama antara lain menyepakati bahwa hukum melakukan kekerasan seksual, baik di dalam dan di luar perkawinan adalah haram. 

Di sisi lain, jelas Nur Rofiah, negara sebagai ulil amri wajib memberikan perlindungan sistemik mulai dari pencegahan, penghukuman, perlindungan hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Selain itu, tambahnya, tindakan pemimpin kepada rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan. 

Nur Rofiah berpendapat, kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi, apabila RUU PKS sudah disahkan.  

"KUPI meyakini anggota DPR, dengan kearifan dan kenegarawanannya mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural)," ujar Nur Rofiah.

Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia/Pemerhati Isu Gender,  Endah Triastuti mengungkapkan dalam proses mewujudkan UU PKS diwarnai gerakan penolakan yang masif. 

Gerakan penolakan RUU PKS itu, jelas Endah, ditopang adanya framing sejumlah media digital dan gerakan sejumlah institusi yang gencar menyuarakan penolakan RUU PKS. 

Media digital, menurut Endah, dengan segala proses sosial yang mengikutinya membentuk persepsi banyak orang. Sehingga gerakan-gerakan tersebut, jelasnya, menjadi kontraproduktif terhadap berbagai upaya dalam pengesahan RUU PKS hingga saat ini. 

Aktivis dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Sekar Jepara, Khomsanah, menceritakan pengalamannya dalam mendampingi korban kekerasan seksual di daerahnya. 

Menurut Khomsanah, karena keterbatasan jangkauan hukum dari undang-undang yang ada saat ini, aparat di lapangan hanya menangani kasus kekerasan seksual sekadar memenuhi legal formal saja, tanpa mampu menuntaskan kasus tersebut. 

Kondisi tersebut, jelas Khomsanah, menuntut segera pengesahan UU PKS agar para korban kekerasan seksual mendapatkan hak perlindungan dari tindak kekerasan dan rasa aman sebagai warga negara.

Hakim Pengadilan Tinggi Bali, Ihat Subihat, menilai makna frase kekerasan adalah dilakukan sepihak dengan pemaksaan, jadi upaya kriminalisasi terhadap rumusan delik yang diurai dalam definisi RUU tentang kekerasan seksual memudahkan hakim dalam merumuskan fakta persidangan. 

Karena seringkali terjadi, jelas Ihat, kasus kekerasan seksual bila dianggap tidak dilakukan dengan kekerasan, tidak bisa dijatuhi pidana dan bukan perbuatan melawan hukum. 

 

Menurut Ihat, pada kondisi saat ini sejumlah fakta persidangan perlu diidentifikasi dengan benar seperti antara lain ketidaksetaraan status sosial para pihak yang berperkara, adanya diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban, dan relasi kuasa yang menyebabkan korban/saksi tidak berdaya.    

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement