REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Warga kawasan ikon pariwisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait adendum kontrak antara PT Gili Trawangan Indah (GTI) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB.
"Pak Presiden Joko Widodo yang kami hormati, kami ingin mengadu. Menanggapi sikap Gubernur NTB bahwa masyarakat Gili Trawangan, rakyat Indonesia dengan tegas dan penuh persatuan menolak adendum kontrak PT GTI yang dicanangkan oleh Gubernur NTB," kata tokoh masyarakat Gili Trawangan, Ustaz Zainul Abdul Hadi di Kota Mataram, Jumat (23/7) malam WIB.
Masyarakat meminta putus kontrak PT GTI yang telah dengan sengaja tidak bertanggung jawab dan ingkar atas tanggung jawabnya. Zainul menuturkan, masyarakat Gili Trawangan terlalu sering diabaikan.
"Leluhur kami memiliki sejarah panjang, membuka lahan yang diabaikan, leluhur membangun Gili Trawangan yang ditelantarkan hingga menjadi ikon pariwisata internasional. Kami menolak keras tuduhan Gubernur NTB sebagai masyarakat dan pengusaha ilegal, karena kami membayar pajak kepada Pemerintah," katanya.
Warga meminta Gubernur NTB Zulkieflimansyah agar berani berhadapan dengan PT GTI, untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya, NTB, dan Indonesia. Zainul menegaskan, masyarakat Gili Trawangan akan berdiri tegak hingga darah mengering di badan.
"Kami meminta pertolongan dan bantuan kepada Pak Presiden Jokowi karena nampaknya di NTB ini seolah tak ada lagi ruang-ruang tempat kami rakyat Gili Trawangan untuk mengadu," katanya mengutip isi surat tersebut.
Pada Kamis, 10 Juni 2021, digelar penandatanganan berita acara kesepakatan pokok-pokok adendum perjanjian kontrak produksi antara Pemprov NTB dan PT GTI di Aula Kejati NTB. Dalam acara penandatanganan itu, Gubernur Zulkieflimansyah turut hadir bersama Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah.
Hadir pula Sekda NTB Lalu Gita Ariadi, Kepala Kejati NTB Tomo Sitepu mewakili jaksa pengacara negara (JPN), beserta sejumlah perwakilan pejabat lingkup Forkopimda NTB.
Dalam kontrak PT GTI atas hak kelola usaha pariwisata di atas lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata andalan NTB, yakni Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, menuai polemik berkepanjangan di tengah masyarakat NTB. Sebab sejak kontrak itu ditandatangani kerja samanya pada 1995 hingga berakhir 2026, belum juga memberikan dampak bagi pendapatan daerah.
Bahkan, dalam kontrak, PT GTI berjanji akan memberikan kenaikan royalti setiap lima tahun kepada Pemprov NTB.Namun, kenyataannya daerah hanya mendapatkan Rp 22,5 juta per tahun. Sementara, perputaran uang setiap harinya di destinasi andalan NTB itu mencapai Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.
Bahkan, dari hasil perhitungan Dirjen Kekayaan Negara Wilayah Bali Nusa Tenggara bahwa pendapatan daerah yang hilang di Gili Trawangan mencapai Rp 2,3 triliun lebih.