REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pasal pidana berupa kurungan badan tiga bulan atau sanksi denda dalam revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 adalah ultimatum remidium atau upaya terakhir penegakan hukum. Hal tersebut tertuang dalam naskah pidato Anies pada Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta dalam rangka penyampaian penjelasan terhadap Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 yang dibacakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria.
"Penambahan ketentuan pidana merupakan materi paling krusial dalam usulan Raperda ini. Pengaturan beberapa ketentuan pidana diatur dengan asas ultimatum remidium," kata Anies seperti dibacakan Riza dalam rapat paripura tersebut, Rabu (21/7).
Ketentuan pidana tersebut, lanjut Anies, diberlakukan pada setiap orang yang mengulangi perbuatan tidak menggunakan masker setelah dikenakan sanksi berupa kerja sosial atau denda administratif. Kedua, adalah pidana bagi subjek hukum tertentu yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 setelah dikenakan sanksi berupa pencabutan izin.
Subjek hukum yang dimaksud berlaku untuk beberapa sektor antara lain pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab perkantoran/tempat kerja, tempat usaha, industri, penginapan dan tempat wisata.
Kemudian pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab transportasi umum, termasuk perusahaan transportasi daring. Lalu pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran.
"Prinsip ultimatum remidium diterapkan ketika sanksi administrasi tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggar protokol kesehatan. Kita dapat melihat sendiri bahwa sanksi administratif yang ada saat ini belum dapat mengetuk hati masyarakat dalam menerapkan protokol pencegahan Covid-19. Pemidanaan tidak hanya untuk menjerakan pelaku, tapi juga bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat dari penularan Covid-19," ucap Anies.
Frasa pengulangan di setiap ketentuan pidana dalam aturan tersebut, disebut Anies, merupakan bentuk konkret dalam prinsip "ultimatum remidium", di mana delik pidana dikonstruksikan bagi masyarakat yang melakukan pengulangan pelanggaran setelah sanksi administratif. Karena itu, sanksi pidana dalam usulan Perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2020 yakni ancaman pidana tiga bulan kurungan atau denda Rp 500 ribu untuk pelanggaran tidak menggunakan masker dan denda Rp 50 juta untuk pelanggaran prokes lainnya, diharapkan tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.
"Diharapkan ancaman hukuman tersebut dapat membuat masyarakat meningkatkan kedisiplinan akan protokol pencegahan Covid-19. Masyarakat harus paham ketika abai akan protokol kesehatan maka penegakan hukum dalam bentuk sanksi pidana akan menunggu," tutur dia.
Diketahui, Perda DKI Jakarta 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan Covid-19 sebenarnya sudah memiliki ketentuan pidana berupa pidana denda. Dalam Pasal 29 disebutkan, setiap orang yang menolak untuk dilakukan tes PCR atau pemeriksaan Covid-19 akan dipidana paling banyak Rp 5 juta.
Pasal 30 juga disebutkan orang yang menolak dilakukan pengobatan dan atau vaksinasi Covid-19 akan didenda Rp 5 juta. Pasal selanjutnya yaitu Pasal 31 ayat 1 menyebut orang yang membawa jenazah berstatus Covid-19 atau probabel akan didenda paling banyak Rp 5 juta.
Ayat 2 disebut orang yang melakukan pidana serupa ayat 1 dengan ancaman atau kekerasan akan didenda paling banyak Rp 7,5 juta. Pasal 32 atau pasal terakhir sanksi pidana menyebutkan setiap orang terkonfirmasi positif namun meninggalkan fasilitas isolasi dengan sengaja akan dikenakan denda Rp 5 juta.