Rabu 21 Jul 2021 19:36 WIB

75 Pegawai KPK Pertimbangkan Upaya Hukum Lanjutan

Hasil pemeriksaan ombudsman menemukan pelanggaran hukum yang sangat serius. 

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasamala Aritonang saat diwawancarai .
Foto: Republika/Haura Hafizhah
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasamala Aritonang saat diwawancarai .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 75 pegawai KPK mengaku mengapresiasi hasil pemeriksaan Ombudsman terkait pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Hal tersebut disampaikan Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum pada Biro Hukum KPK nonaktif, Rasamala Aritonang yang menjadi perwakilan 75 pegawai tak lulus TWK.

"Kami juga terkejut sebab temuan ombudsman buat kami membongkar sesuatu yang jauh lebih dalam dan sangat serius dari yang kami perkirakan dalam pelaporan," kata Rasamala Aritonang dalam konferensi pers, Rabu (21/7).

Dia mengatakan, laporan yang dibuat 75 pegawai KPK sebenarnya memproyeksikan penyimpangan administratif yang sifatnya sederhana. Namun, hasil pemeriksaan ombudsman menemukan pelanggaran hukum yang sangat serius oleh pimpinan dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK.

Dia mengungkapkan, hasil tersebut diantaranya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perintah presiden dan Peraturan Komisi (Perkom) KPK nomor 1 tahun 2020. Temuan ombudsman menyebutkan bahwa perkom yang juga dibuat KPK tersebut tidak mencantumkan adanya norma atau konsekuensi dari lulus atau tidaknya pegawai dari TWK.

Lebih lanjut, Rasamala mengatakan, tim 75 pegawai KPK juga akan melakukan upaya hukum lebih jauh menyusul temuan ombudsman tersebut. Dia mengatakan, hal tersebut mengingat ditemukannya maladministrasi, pelanggaran prosedural dan penyalahgunaan wewenang terkait TWK.

"Terhadap tiga kata kunci ini kami mempertimbangkan dan mendorong upaya hukum lebih lanjut untuk mempelajari motif apa yang mendasari dilakukannya berbagai pelanggaran serius tersebut," katanya.

Dia mengatakan, upaya hukum bisa dilakukan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK apabila ditemukan pelanggaran etik dari pimpinan KPK. Sedangkan gugatan maladministrasi akan dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan melihat fakta dan bukti sebelum melayangkan gugatan.

Sementara, penyalahgunaan wewenang akan dilihat dari indikasi pidana sehingga akan dilaporkan ke kepolisian Rasamala mengatakan, pihaknya akan melihat apakah tes dilakukan ada hubungannya dengan tugas penyelidik dan penyidik dalam menjalankan tugas mereka.

"Kalau ada demikian maka itu ada ancaman norma pidana karena yang memproses ini nanti bisa KPK atau kepolisian," katanya.

Rasamala mengungkapkan, finalisasi pertimbangan keputusan upaya hukum lanjutan ini akan dilakukan pada Agustus atau September nanti dengan menelaah lebih dulu hasil pemeriksaan Ombudsman. Hal tersebut sekaligus menyelaraskan batas waktu pengangkatan 75 pegawai KPK sebagai ASN juga hasil pemeriksaan Komnas HAM.

Sebelumnya, Ombudsman menyebutkan bahwa ada maladministrasi dalam seluruh proses pelaksanaan TWK. Ombudsman menemukan adanya penyimpangan prosedur dalam pelaksanaan tes yang menjadi penentu dalam peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.

Hasil pemeriskaan terkait asasemen TWK berfokus pada tiga isu utama. Pertama, berkaitan dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN. kedua, proses pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN dan ketiga adalah pada tahap penetapan hasil asasemen TWK.

"Tiga hal inilah yang oleh ombudsman ditemukan maladministrasi," kata Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih.

Dia menegaskan, koreksi Ombudsman ini mengikat secara hukum mengingat hasil pemeriksaan juga merupakan produk hukum. Najih mengatakan, sebagai negara hukum maka wajib mematuhi hukum dan apabila tidak memenuhi rekomendasi itu artinya tidak patuh terhadap hukum.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement