REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Novita Intan
Ekonom Senior Center Of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet belum melihat urgensi masuknya tax amnesty (TA) atau pengampunan pajak jilid II ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Untuk RUU KUP, pemerintah bisa fokus kepada reformasi perpajakan yang lebih esensial, seperti kenaikan tarif tertinggi dari pajak penghasilan (PPh) ataupun kepastian reformasi perpajakan untuk pajak pertambahan nilai (PPN)," ujar Yusuf di Jakarta, Senin (19/7).
Menurut Yusuf, kebijakan TA sering kali dipergunakan berbagai negara sebagai salah satu bentuk dari reformasi pajak, karena dari program tersebut pemerintah bisa memperbarui basis data perpajakan. Namun, pada umumnya TA dilakukan hanya satu kali saja, kalaupun lebih dari satu kali, dilakukan dalam rentang waktu yang panjang.
Dengan adanya wacana TA jilid II ini, Yusuf menilai hal tersebut tentu akan berbeda dengan pola umum selama ini karena baru lima tahun lalu pemerintah melaksanakan pengampunan pajak. Pada saat itu, ia menyebutkan, pemerintah dalam beberapa kampanye menyampaikan kebijakan TA tidak akan dilakukan lagi.
"Dengan demikian, wacana pengampunan pajak jilid II akan bertolak belakang dengan semangat TA jilid I kala itu," kata Yusuf.
Jika memang tujuan dari wacana TA jilid II adalah membantu proses pemulihan ekonomi, Yusuf menyarankan agar pemerintah bisa memberikan insentif pajak yang sebenarnya juga sudah dilakukan selama Covid-19 berlangsung. Sementara, jika ingin mendorong pemasukan negara, bisa dilakukan dengan menaikkan tarif tertinggi dari PPh atau pendekatan yang lebih ekstrem seperti penarikan pajak orang kaya.
Belajar dari pengalaman TA jilid I, ia menilai belum ada pengaruh signifikan ke penerimaan pajak, terutama dilihat dari rasio perpajakan atau tax ratio yang masih belum beranjak dari kisaran 10 atau 11 persen. Dari sisi keadilan, wacana TA jilid II, menurut Yusuf berpotensi mereduksi tujuan dari TA itu sendiri, sehingga wajib pajak (WP) bisa saja berpikir untuk tidak perlu disiplin dalam membayar atau melaporkan pajak karena akan ada TA jilid berikutnya.
Pengamat Pajak Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda juga menilai, rencana tax amnesty jilid II belum perlu dilakukan. Mengingat, saat ini bertabur pemberian insentif dari pemerintah.
"Masak sudah diberikan insentif, tetap saja yang tidak patuh pajak mau diampuni," kata Nailul di Jakarta, Senin.
Menurut Nailul, insentif yang diberikan pemerintah kepada para pengusaha sudah sangat banyak, pada saat pandemi melanda. Sehingga, rencana pemberian amnesti pajak yang masuk dalam RUU KUP tidak diperlukan.
Saat ini, pemberian insentif untuk dunia usaha terdampak Covid-19 yang masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp53,86 triliun. Perinciannya, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) Rp 5,78 triliun, pembebasan PPh 22 Impor Rp 13,08 triliun, pengurangan angsuran PPh 25 Rp 19,71 triliun, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) DTP kendaraan bermotor Rp 2,99 triliun, serta insentif lainnya Rp12,3 triliun.
Terlebih lagi, sambung Nailul, pelaksanaan TA jilid I pun baru dilakukan beberapa tahun yang lalu dan masih sangat terlalu dekat jaraknya dengan rencana TA jilid II. Sehingga, akan menimbulkan persepsi WP untuk tidak usah membayar pajak karena nanti akan ada pengampunan kembali.
"Ini yang repot sebenarnya," ujar dia.
Nailul pun menduga masuknya pasal tax amnesty jilid II dalam RUU KUP merupakan saran dari beberapa pengusaha nakal yang sudah diberikan pengampunan pajak oleh pemerintah, namun masih melanggar. Terkait dengan penerimaan perpajakan, Nailul berpendapat TA jilid II tak akan terlalu berpengaruh besar.
"Semakin penanganan pandemi berlarut-larut, maka semakin lama pula penerimaan pajak kembali ke jalur normal," tegas Nailul.