Senin 19 Jul 2021 03:29 WIB

Saran Agar Dokter tak Pikul Beban Terlalu Berat Saat Pandemi

Pandemi membuat dokter mengalami pukulan yang berat.

Petugas menata tabung oksigen medis yang siap didistribusikan di Posko Oksigen Medis Gudang PT Migas Hulu Jabar ONWJ, Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/7/2021). Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui PT Migas Hulu Jabar ONWJ bekerja sama dengan PT Krakatau Steel menyiapkan posko oksigen medis yang menampung kuota 125 tabung oksigen medis 6 meter kubik per hari untuk pengadaan dan distribusi oksigen medis ke tiap rumah sakit di Kabupaten/Kota se-Jawa Barat guna memenuhi kebutuhan oksigen bagi pasien COVID-19.
Foto: ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Petugas menata tabung oksigen medis yang siap didistribusikan di Posko Oksigen Medis Gudang PT Migas Hulu Jabar ONWJ, Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/7/2021). Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui PT Migas Hulu Jabar ONWJ bekerja sama dengan PT Krakatau Steel menyiapkan posko oksigen medis yang menampung kuota 125 tabung oksigen medis 6 meter kubik per hari untuk pengadaan dan distribusi oksigen medis ke tiap rumah sakit di Kabupaten/Kota se-Jawa Barat guna memenuhi kebutuhan oksigen bagi pasien COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Pulmonologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. dr. Menaldi Rasmin memberikan rekomendasinya agar dokter tidak perlu menanggung beban pekerjaan terlalu berat di masa pandemi. Dia mengatakan tenaga medis mengalami pukulan yang berat.

"Sekarang persoalannya ada apa? Beban pekerjaan ini sudah terlampau berat ditanggung dokter. Terlampau banyak orang yang datang ke rumah sakit dan sudah dalam keadaan yang berat-berat," ujar dia dalam diskusi media via daring yang digelar PB IDI, Ahad (18/7).

Baca Juga

Menaldi meminta PB IDI untuk membebaskan dokter di puskesmas dari kewajiban rawat inap pasien COVID-19 atau pasien lain. Mereka bisa ditetapkan menjadi manajer kesehatan yang mengatur edukasi dan promosi kesehatan serta bertanggung jawab atas vaksinasi (bukan sebagai vaksinator).

Dokter bisa sebagai manajer wilayah untuk menjaga kondisi kesehatan tetapi tidak perlu menjadi korban penyakit. "Bukan mau lari dari penyakit, dokter tetap ada di sana untuk mengendalikan penyakit dan menjaga masyarakat supaya tidak sakit. Tetapi kalau dokter (di puskesmas) menjadi pelaku langsung, berhadapan langsung dengan penyakit, maka dokter berhadapan dengan risiko ikut sakit. Padahal dokter mungkin hanya 4 di puskesmas," kata Menaldi.

Selain itu, perlu adanya pembatasan pajanan dokter pada penyakit dan varian corona. Dokter yang bekerja di rumah sakit lapangan kawasan seperti berikat dan industri misalnya sebaiknya bertugas di wilayah itu saja. Kemudian, dokter juga perlu ditempatkan pada tempat strategis yang tidak berhadapan dengan terlampau variatif varian.

Berikutnya, mengenai isolasi mandiri, Menaldi mengingatkan agar keputusan berdasarkan penilaian dokter. Hal ini agar kerja dokter terukur.

"Kalau isolasi mandiri atas pilihan pribadi, tiba-tiba datang malam-malam dalam keadaan yang berat, padahal dokter yang jaga malam terbatas jumlahnya, lalu dia bertumpahan ke dalam ruangan, dokter bekerja sepanjang hari dengan baju yang terkurung, tidak minum, makan, tidak bisa ke belakang karena bajunya sulit dilepas. Apa yang terjadi, dokternya sakit, ada yang meninggal dunia," kata dia.

Sementara itu, data dari Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) per 17 Juli 2021 mencatat sebanyak 545 orang dokter di tanah air yang meninggal dunia. "Saya kira ini bukan banyak tetapi ini terlalu banyak. Karena satu orang dokter meninggal tidak bisa dilihat dari angka. Sebanyak 108 orang dokter meninggal tidak bisa dilihat dari persentase. Setiap jiwa dokter yang meninggal itu berarti negara kehilangan aset utama dalam sistem ketahanan kesehatan nasional," kata  Menaldi.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement