Jumat 16 Jul 2021 22:30 WIB

Vonis Edhy, Cermin Perilaku Korupsi Makin Ditoleransi?

Kalangan LSM antikorupsi menilai sedang terjadi tren vonis ringan terhadap koruptor.

Jurnalis merekam sidang pembacaan vonis bagi terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang digelar secara virtual dari Pengadilan Tipikor, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (15/7/2021). Majelis Hakim memvonis Edhy Prabowo hukuman lima tahun penjara terhadap Edhy Prabowo. Edhy juga dijatuhkan hukuman untuk membayar denda Rp400 juta subsidair enam bulan kurungan.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, tindakan korupsi para pejabat saat ini makin ditoleransi. Pernyataannya itu menanggapi vonis terhadap Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Baca Juga

Diketahui pada Kamis (15/7), Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara terhadap Edhy Prabowo. Selain pidana badan, Edhy juga dijatuhi denda sejumlah Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan

Dalam putusannya, Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya.

Edhy juga harus membayar uang pengganti Rp 9.687.447.219 dan uang sejumlah 77 ribu dolar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan. Apabila uang pengganti tidak dibayar setelah satu bulan putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya disita untuk menutupi uang pengganti.

Apabila aset Edhy tidak cukup maka Edhy harus dihukum pidana badan selama 2 tahun. Edhy juga dijatuhi hukuman berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai mejalani masa pidana.

"Memang menurut saya, Indonesia sedang mengalami kemunduran pemberantasan korupsi dan dominasi perilaku koruptif sedang tinggi-tingginya yang tercermin dari rendahnya sanksi pidana yang diberikan kepada koruptor, " ujar Feri kepada Republika, Jumat (16/7).

"Tren ini akan terus terjadi ketika semangat pemerintahaan yang toleran terhadap koruptor. Buktinya sanksi mereka sebanding dengan sanksi pencurian kecil," tambahnya.

Ia menekankan, pada era Presiden Joko Widodo "niat" memberantas korupsi sadah dimusnahkan. "Akibatnya timbul nilai-nilai yang permisif dalam melindungi koruptor dengan berbagai cara," kata dia.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Allan Fatchan Gani memandang, saat ini kecenderungan tren vonis ringan akan menjadi 'budaya' dan berpotensi dibudayakan ditengah krisis spirit pemberantasan korupsi.

Menurutnya, tren tersebut sangat jelas mencederai keadilan.

"Terhadap tuntutan dan vonis yang ringan, perlu diselidiki secara serius kemungkinan kemungkinannya," tegas Allan kepada Republika, Jumat.

Menurutnya, jika tuntutan yang rendah jadi persoalan, maka jaksa yang menuntut perlu ditelusuri rekam jejaknya, kapasitas serta integritasnya. Namun, jika soal putusan atau vonis, Komisi Yudisial (KY) perlu juga menelusuri rekam jejak, kapasitas, dan integritas sang hakim.

"Dari situ akan ditemukan benang merahnya bagaimana komitmen pemberantasan korupsi para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan," tegasnya.

In Picture: Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun Penjara

photo
Jurnalis merekam sidang pembacaan vonis bagi terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang digelar secara virtual dari Pengadilan Tipikor, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (15/7/2021). Majelis Hakim memvonis Edhy Prabowo hukuman lima tahun penjara terhadap Edhy Prabowo. Edhy juga dijatuhkan hukuman untuk membayar denda Rp400 juta subsidair enam bulan kurungan. - (Antara/Reno Esnir)

 

 

Adapun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan 5 tahun penjara untuk  Edhy Prabowo menggambarkan kepada publik betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum.

"Benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan. Sebab, baik KPK maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor. Sebagaimana diketahui, hukuman 5 tahun penjara itu serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.

Patut untuk diingat, kata Kurnia, saat melakukan praktik korupsi, Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik. Sehingga, berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.

"Tidak cukup dis itu, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19, " tegas Kurnia.

Jadi, bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara. Pencabutan hak politik itu pun terasa amat ringan, mestinya pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya.

"Logika putusan itu jelas keliru, sebab, hakim membenarkan penerimaan sebesar Rp 24,6 miliar ditambah 77 ribu dollar AS, namun kenapa justru vonisnya sangat ringan? Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara, " tegasnya lagi.

Oleh karena itu, vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut. Putusan itu dapat dianggap benar jika Edhy hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator, namun ini berbeda, yang ia korup mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga sekarang tidak kunjung mengakui perbuatannya.

Ganjaran hukuman 5 tahun penjara itu, sambung Kurnia, kian menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan perkara korupsi. Pemantauan ICW pada 2020 sudah menggambarkan secara jelas bahwa majelis hakim kerap kali tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi.

"Bayangkan, rata-rata hukuman koruptor saja hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Lantas, apa lagi yang diharapkan dari penegakan hukum yang terlanjur carut marut ini?, " ucapnya.

ICW, tambah Kurnia, juga mencurigai adanya pihak di balik tuntutan rendah tersebut.

"Di luar dari vonis tersebut, penting pula untuk menyoroti rendahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK. Namun, kali ini yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut adalah siapa pihak di balik tuntutan rendah tersebut? Apakah murni buah pemikiran jaksa penuntut umum atau justru atas keinginan Pimpinan KPK? ICW curiga Pimpinan KPK ada di balik rendahnya tuntutan terhadap Edhy Prabowo, " kata dia.

"Dalam waktu yang tak lama lagi, persidangan perkara lain, yakni Juliari P Batubara juga akan memasuki pembacaan surat tuntutan. ICW yakin, tuntutan Juliari pasti akan serupa, atau bahkan mungkin lebih rendah, dibandingkan dengan Edhy Prabowo," tegas Kurnia, menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement