Jumat 16 Jul 2021 19:25 WIB

Sindiran dan Kritik untuk Luhut

Gaya komunikasi Luhut merespons pandemi dinilai minim empati dan perlu dievaluasi.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan
Foto:

Gaya komunikasi Luhut yang cenderung meremehkan dan menantang juga mendapatkan sorotan dari para pakar komunikasi. Pemilihan diksi dan gaya komunikasi Luhut selaku Koordinator PPKM Darurat dinilai minim empati dan tidak tepat di tengah situasi krisis pandemi.

Pakar komunikasi dari Unair, Suko Widodo, menilai, nuansa militer masih mewarnai gaya komunikasi Luhut. Padahal, menurut Suko, gaya komunikasi publik seperti itu sangat tidak cocok dalam situasi pandemi seperti saat ini, yang membutuhkan kesabaran dan empati terhadap kondisi masyarakat.

"Gaya instruktif tidak tepat untuk publik. (Gaya komunikasi Luhut) hanya cocok untuk organisasi yang berstruktur," kata dia.

Dia menambahkan, pemerintah memang harus memiliki sikap tegas. Namun, tetap dengan cara yang sabar dan berempati kepada situasi masyarakat. Suko melihat, memang gaya komunikasi Luhut dalam menangani pandemi Covid-19 kerap menyangkal dan cenderung menantang. Padahal, dalam situasi kritis seperti pandemi ini diperlukan komunikasi yang meneduhkan.

"Komunikasi publik itu harus akurat. Karena publik ini beragam, maka mesti dipahami psikologi massa," jelas dia.

Hal yang sama disampaikan guru besar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Ibnu Hamad. Menurut dia, dalam situasi krisis seperti ini, pemerintah harus mengedepankan komunikasi krisis.

"Komunikasi krisis dicirikan oleh penyampaian pesan dan atau informasi penanganan krisis," ujar dia.

Dia melanjutkan, pesan atau informasi krisis itu, bisa mencakup hal yang sedang dilakukan pemerintah. Termasuk, apa saja yang sudah dicapai selama menangani krisis.

"Pada situasi krisis ini masyarakat pada bingung, kadang jengkel dan marah, maka pihak yang menangani krisis itu justru harus tenang dan memberikan solusi," katanya.

 

 

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyarankan agar ada evaluasi terhadap pihak yang biasa memberi masukan kepada Luhut. Dicky menyampaikan pernyataan Luhut didasarkan atas masukan para pembisiknya.

Menurutnya, pemberi informasi inilah yang mestinya bertanggungjawab akan akurasi data yang digunakan Luhut. Mereka diimbau membuka mata dan telinga lebar-lebar agar bisa menyerap informasi sebanyak mungkin.

"Beliau (Luhut) sampaikan begitu karena suplai infonya, beliau bukan ahli kesehatan. Penyuplai ini yang harus lebih banyak mendengar, melihat para ahli yang bergelut dengan wabah sejak lama dan bukan secara teoritis saja tapi praktek," kata Dicky kepada Republika, Kamis (15/7).

Dicky menyinggung pentingnya kebenaran data dari pernyataan Luhut. Ia tak ingin informasi yang disebarkan Luhut tanpa dasar yang jelas justru jadi fondasi kebijakan.

"Masalah informasi akurat ini penting, apalagi bicara proyeksi karena itu jadi dasar strategi mitigasi yang tepat," ujar Dicky.

Dicky juga menganjurkan Luhut mendengar masukan lintas sektor, tak hanya kesehatan saja. Tujuannya guna mendapat gambaran utuh mengenai kondisi dan dampak pandemi sekaligus bagaimana penanganannya.

"Sekarang melihat masalah untuk menghadapinya. Jangan terjebak dalam diskusi yang tidak produktif karena ini menyangkut nyawa manusia," ucap Dicky.

Kurva Covid-19 di Indonesia saat ini memang terbilang mengkhawatirkan. Angka kasus harian telah mencapai lebih dari 50 ribu kasus per hari dan angka kematian harian sudah tembus 1.000-an meninggal dalam 24 jam. Angka positivity rate sangat jauh dari standar WHO (5 persen), yakni mencapai 30-an persen.

 

photo
Separuh warga Jakarta pernah terinfeksi Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement