Ahad 11 Jul 2021 16:16 WIB

Final Euro 2020: Ada Sejarah Tirani di Balik Sepak Bola?

Menonton final Euro ternyata bukan sederhana hanya melihat menang dan kalah saja.

Diktator Spanyol Jendral Franco menggunakan Real Madrid sebagai alat politik untuk menunjukkan kekuatan Spanyol kepada dunia. Franco sebenarnya adalah penggemar Atletico Madrid yang kemudian ikut-ikutan menjadi Los Blancos.
Foto:

Kisah Timnas Inggris yang terjebak dalam kediktatoran 

Dalam soal sepakbola dipakai sebagai alat politik --bahkan untuk mengesksisan seroang tiran, terdapat dalam kisah dari seorang penulis Oscar film dengan penghargaan Oscar, Trevor Fisher.

Trevor menulis buku: A Fatal Passion (Gairah yang Fatal). Isi buku ini tentang kaitan Sepak Bola dan Fasisme: Football and Fascism. Dia berkisah mengenai peristiwa yang terjadi kala tim sepak bola Inggris mengunjungi Jerman pada Mei 1938. Di sana timnya harus mentaati protokol diplomatik membuat tim Inggris harus memberi hormat ala Nazi.

Trevor Fisher bercerita begini:

Politik dan sepak bola adalah kombinasi yang berbahaya. Namun sepak bola kini sebagian besar berhasil telah terhindar dari campur tangan politik yang berlebihan.

Di masa lalu, ada perintah dari Diktator Mussolini ke tim Piala Dunia Italia tahun 1938 untuk memenangkan trofi. Dia memerintahkan memerintah timnas Italia dengan melecut: Kalian tidak perlu repot-repot kembali ke pulang rumah di Italia kalau menang. Dan pernyataan Mussolini yang tidak biasa ini bisa melecut timnas Italia memenangkan kejuaraan piala dunia

Campur tangan politik rezim juga terjadi di timnas Inggris. Kala itu, yakni pada Mei 1938, tim sepak bola Inggris mengunjungi Berlin, Mereka di sana bermain di hadapan lebih dari 100.000 penonton. Dan sebelum melakuan pertandingan mereka memberi hormat ala Nazi. Gema dari kejadian itu masih bergaung sampai sekarang.

Seperti komentar James Corbett dalam bukunya England Expects (De Coubertin, 2010): 'Tidak ada satu insiden dalam sejarah olahraga Inggris yang menyebabkan kekhawatiran dan kontroversi peristiwa salam ala Nazi itu.

Apalagi, pada tahun 1938, sepak bola internasional dibayangi oleh momok konflik bersenjata. Dan pertandingan sepakbola antar negara di Eropa kala itu lazim pula dilakukan. Sebelum Perang Dunia Pertama, Inggris telah melakukan tur ke pusat sepak bola Eropa tengah, yakni ke wilayah Kekaisaran Austro-Hungaria lama. Mereka melakuan dengan dua tur asing, yang pertama pada tahun 1908 untuk melawan Austria, Hungaria dan Bohemia. Ini berbeda dengan tim Jerman yang kala tidak punya rencana perjalanan antarnegara.

Uniknya, ketika perdamaian terjadi kembali di Eropa setelah 1918, Inggris mulai bermain persahabatan dengan sekutu masa perangnya, Prancis dan Belgia, kemudian Swedia, Luksemburg, Spanyol. Bahkan mereka bertanding denan musuh masa perangnya, yakni Austria dan Jerman.

Austria terbukti lawan yang sulit. Inggris kalah tipis 3-2 pada tahun 1932. Sebelumnya, selama Republik Weimar (negara sebelum Jerman), pertandingan melawan timnas Inggris melawan Jerman yang berlangsung di Berlin pada 10 Mei 1930, berakhir imbang 3-3.

photo
 
Keterangan foto: Timnas Inggris memberikan salam Nazi pada pertandingan melawan Jerman di tahun 1938 - (Google.com)

 

Sementara dalam kunjungan pertandingan timnas Jerman ke London pada bulan Desember 1935, setelah pengambilalihan Nazi, Inggris berhasil menang 3-0. Tapi pertandina ni menimbulkan sedikit kontroversi dan hanya menjadi skor lain untuk dimasukkan ke dalam buku rekor.

Pada Mei 1938, iklim politik dunia telah berubah. Agresivitas Nazi Jerman menjadi semakin nyata. Hanya dalam beberapa minggu saja  Hitler telah mencaplok Austria di Anschluss.

Celakanya, sebagian besar pesepakbola Inggris apolitis. Mereka nyaris tidak menyadari hilangnya musuh olahraga paling kuat mereka. Tetapi ketika mereka bertandang bermain di Berlin, mereka baru sadar bahwa pertandingan kali ini bukan pertandingan biasa.

Mengingat apa yang terjadi, yakni enam tahun setelah peristiwa itu, kapten Inggris, Eddie Hapgood, baru sadar dengan menyarankan bahwa tim Olimpiade Inggris telah membuat pelanggaran terhadap tuan rumah Jerman mereka pada tahun 1936 ketika mereka tidak memberi hormat Nazi maupun gerakan Olimpiade (lengan kanan terlempar ke samping daripada ke atas dengan cara Nazi). Saat itu  dia diam saja karena pihak berwenang pun yang ada di timnya ingin menghindari lebih banyak kontroversi.

Otoritas mana yang dimaksud Hapgood tidak pernah sepenuhnya ditetapkan. Namun, secara umum dimengertti bahwa Duta Besar Inggris di Berlin, Sir Nevile Henderson, saat itu adalah seorang pendukung setia peredaan ketegangan. Dia diyakni pasti diajak berkonsultasi, tetapi apakah dia memerintahkan penghormatan itu sampai kini masih diperdebatkan.

Menurut Hapgood, dua pejabat Inggris yang bertanggung jawab, Charles Wreford-Smith dan Sekretaris FA baru Stanley Rous. Mereka mengunjungi Henderson secara sukarela karena mereka tidak yakin dengan protokolnya. Hapgood menyarankan Rous yang mengusulkan agar tim memberi hormat. Langkah juga didukung Henderson.

Pejabat FA (Asosiasi sepakbola Inggris) kemudian memberi tahu Hapgood yang akan menolak melakukan apa pun selain membela lagu kebangsaan Jerman. Namun, dia tidak punya banyak pilihan dan dia kemudian memberi tahu tim. Sikapnya ini menyebabkan 'banyak gumaman di jajaran timnya', seperti yang dia jelaskan dalam bukunya Football Ambassador.

Wreford Brown kemudian memberi tahu tim bahwa: "Ada arus bawah yang kami tidak tahu apa-apa serta itu hampir di luar kendalinya. Dan sebenarnya itu menjadi urusan politisi daripada para olahragawan."

Dua peserta lain telah memberikan pandangan mereka. Rous, dalam otobiografinya, Football Worlds (Faber, 1978), mengklaim bahwa dia memang pergi menemui Henderson, yang mengatakan kepadanya bahwa penghormatan itu memiliki sedikit makna politik tetapi tidak memberi perintah untuk memberikannya. Dia bahkan melihatnya hanya sebagai sekedar rasa hormat belaka.

Rous mengklaim dia menempatkan pandangan itu kepada para pemain  dengan menyerahkan pilihan kepada mereka. Dia hanya menjelaskan bahwa apa pun keputusan mereka dapat memengaruhi atmosfer di stadion.

Dia menulis bahwa semua pemain setuju memberi penghormatan ala Nazi. Bahkan mereka merasa tidak keberatan, dan tidak diragukan lagi melihatnya sebagai sedikit kesenangan'. Tapi peristiwa ini bukan seperti  pengalaman pemain sayap bintang Inggris Stanley Matthews mengingatnya.

Dalam The Way It Was (Headline, 2001), Matthews melaporkan bahwa, ketika seorang ofisial FA masuk ke ruang ganti untuk memberi tahu tim agar memberi hormat, maka suasana ruang ganti seperti hendak meledak. "Semua pemain Inggris marah dan benar-benar menentang ini, termasuk saya sendiri,'' ujarnya.

Eddie Hapgood juga mengatakan kepadanya apa yang bisa dia lakukan dengan memberikan 'salam Nazi'. Bahkan dia mengatakan itu  layaknya sebuah peristiwa suram seperti sebuah tempat yang tidak terkena sinar matahari. Ofisial, menurut Matthews, pergi dan kembali mengatakan dia mendapat 'perintah langsung dari Sir Nevile Henderson  bahwa 'salut kepada Nazi'  telah disahkan oleh Sekretaris FA, Stanley Rous.

Dan saat itu situasi politik antara Inggris dan Jerman memang sangat sensitif sehingga laksana hanya perlu dengan satu percikan api saja untuk 'menyalakan' Eropa.

Akhirnya, menghadapi ultimatum virtual ini, tim Inggris kemudian sepakat memberikan salut ala Nazi. Dan ini kemudian berjalan lancar dengan tidak adanya perselisihan tentang apa yang terjadi ketika tim Inggris turun ke lapangan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement