REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia (PMI) Sudirman Said menyebut pandemi Covid 19 saat ini dan bencana tsunami di Aceh memiliki kesamaan dalam konteks krisis. Namun, ada tantangan berbeda yang harus bisa dilalui.
Menghadapi situasi krisis memerlukan kecepatan dan fleksibilitas dalam penanganannya. Pemerintah bahkan telah menyusun banyak langkah agar segera terbebas dari krisis pandemi.
Sudirman bercerita bagaimana dirinya ikut menanggulangi krisis bencana di Aceh-Nias. Ia merupakan salah satu penyusun konsep Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias.
Dia menilai masalah dan tantangan pada penanganan tsunami Aceh berbeda dengan wabah Covid-19 saat ini. Pada krisis bencana Aceh-Nias, relawan PMI serta para psikolog menangangi psikososial. Kala itu, sekolah banyak yang ambruk dan sebagian anak-anak tidak bisa belajar di kelas.
"Jadi memberi semacam social healing. Membangkitkan dari trauma setelah menyaksikan gelombang tsunami dan gempa terus menerus," ujar Sudirman saat dihubungi di Jakarta.
Tidak mudah untuk meredakan rasa trauma yang dihadapi korban bencana. Sebab, setahun pertama hampir tiap pekan ada gempa susulan. "Menjaga semangat dan kegembiraan anak anak yang di pengungsian menjadi PR tersendiri," ujar tokoh kemanusiaan ini. "Karena mereka berbulan bulan bahkan ada yanh bertahun tahun di pengungsian, menunggu giliran dapat rumah."
Para relawan pun membangun sekolah-sekolah darurat dengan tenda atau bangunan seadanya. Ada kebersamaan yang dibangun. Peran para relawan psikolog sangat besar.
Anak-anak pun tetap optimistis agar bisa beraktivitas seperti biasa. "Dulu anak-anak tinggal di pengungsian, tapi relatif bisa bebas bergerak. Bermain di luar," ujarnya.
Saat bencana tsunami dulu, sebut Sudirman, para korban juga patuh dengan arahan pemerintah. Namun dalam menghadapi krisis ini, tantangannya berbeda. "Saat tsunami para korban patuh ke pemerintah, diminta A ya A, B ya B," bebernya. "Sekarang relatif-relatif saja. Tantangannya beda."
Saat pandemi Covid-19, anak-anak kesulitan belajar tatap muka. Belajar di kelas ditiadakan untuk mengurangi risiko penularan virus yang berasal dari Wuhan, Cina, ini. "Sekarang mereka tinggal di keluarga, gak bisa sekolah juga, tidak bebas keluar rumah karena risiko tertular," katanya.
Menurut Sudirman, secara psikologis lebih berat sekarang. Tingkat stresnya lebih tinggi. Pandemi ini pemerintah mewajibkan seluruh masyarakat menghindari penularan virus corona. Tameng utamanya, harus patuh protokol kesehatan juga berdiam di rumah atau mengurangi mobilitas.
Setahun belakangan pemerintah juga sudah berupaya dalam menghadapi krisis pandemi. Namun demikian, semua jangan lengah dan bosan untuk meminimalisir penularan SARS Cov 2.
Sayangnya, membangun kepercayaan masyarakat agar segera pulih dari bencana juga tidak mudah. Sudirman mencontohkan, di tahun pertama kantor BRR sempat diserbu massa dan diduduki. "Tapi kita jelaskan jadwal pembangunan kita sampaikan progress dan tantangan, apa adanya," tuturnya.
Butuh keterbukaan dalam menghadapi krisis. Masyarakat di Indonesia juga sedang menghadapi masalah yang sama saat ini. "Kuncinya keterbukaan dan menyampaikan kondisi apa adanya. Mengajak masyarakat berbagi penderitaan dengan sesama," lanjutnya.
Begitu juga saat ini, ucap Sudirman, dalam menghadapi krisis pandemi, masyarakat harus dibuat percaya pada langkah pemerintah dalam mengatasi krisis. "Caranya ada 4, kebijakan pemerintah harus seragam, dilaksanakan serempak, konsisten dan jadikan ini gerakan, bukan kewajiban," tutupnya.