Selasa 06 Jul 2021 10:43 WIB

Mengapa Ada Warga tak Percaya Covid? Ini Kata Dosen Untirta

Ada persepsi negatif di tengah masyarakat bahwa mereka yang sakit di-Covid-kan.

Pekerja membawa peti mati yang dibuat untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19, di kompleks gedung pemerintah daerah di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, Sabtu, 3 Juli 2021.
Foto: AP/Trisnadi
Pekerja membawa peti mati yang dibuat untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19, di kompleks gedung pemerintah daerah di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, Sabtu, 3 Juli 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lonjakan kasus Covid-19 belum menunjukkan tanda usai. Namun, di tengah lonjakan itu, masih saja ada warga yang tak mempercayai kebenaran virus tersebut.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Darwis Sagita mencoba menganalisa mengapa masih ada warga tidak percaya. Pertama, menurutnya, ada anggapan di tengah masyarakat, mereka aman-aman saja, tidak ada merasa sakit seperti dilihat di televisi. Selain itu ada juga persepsi negatif bahwa mereka yang sakit atau meninggal sengaja dicovid-kan

Baca Juga

"Ada juga persepsi mereka di-Covid-kan," ujarnya ketika berbincang dengan Republika.co.id, belum lama ini.

 

photo
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Darwis Sagita. - (Istimewa)

 

Kedua, faktor lain yang ikut mempengaruhi persepsi masyarakat adalah berita hoaks. Kabar hoaks ini tersebar ke grup WhatsApp pertemanan atau keluarga. Karena proses literasi yang rendah, informasi itu diterima mentah-mentah begitu saja.  "Dari  riset yang pernah saya lakukan tahun lalu  tentang kekhawatiran orang informasi Covid, ternyata mereka tahu banyak dari perkumpulan terdekat dari WA grup," jelasnya.

Selain itu, minimnya kepercayaan kepada pemerintah yang dianggap tidak konsisten juga menjadi penyebab mengapa mereka tak percaya akan Covid. Misal, isu-isu yang dikait dengan tenaga kerja China. "Jadi terkait juga soal trust," katanya.

Adapun soal vaksin mengapa masih ada yang ragu, karena ada kekhawatiran soal kehalalalan. Beberapa juga menganggap vaksin tidak mempunyai imbas maksimal. Karena meski sudah divaksin, tetap saja yang terpapar.

Dosen yang sudah 12 tahun mengajar itu, menyarankan pemerintah agar memaksimalkan 'speaker-speaker' lain dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat. "Misal di beberapa kampung itu, Kiai lebih didengar daripada nakes, jadi harus banyak melihatkan tokoh agama atau masyarakat," tuturnya.

Dengan penyuluhan secara konsisten dan melibatkan banyak tokoh ini diharapkan, tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya virus semakin baik.  Termasuk, dalam menjalankan protokol kesehatan seperti penggunaan masker, jaga jarak, hindari kerumunan, dan selalu cuci tangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement