REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengucapkan selamat kepada ST Burhanudin selaku Jaksa Agung dan jajarannya di Kejaksaan Agung (Kejagung) karena telah berhasil mempertahankan vonis ringan kepada Pinangki Sirna Malasari. Tidak hanya itu, Mahkamah Agung (MA) juga dinilai ICW telah sukses pula menorehkan noktah hitam dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Sebab, penegak hukum yang mestinya diganjar hukuman maksimal, namun hanya divonis 4 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan yang diterima Republika, Senin (5/7).
Bagi ICW, lanjut Kurnia, seluruh penanganan korupsi suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat Pinangki hanya dagelan semata. Betapa tidak, begitu banyak celah-celah yang tak mau dibongkar oleh Kejagung.
"Satu di antaranya: dugaan keterlibatan pejabat tinggi di instansi penegak hukum yang menjamin Pinangki untuk dapat bertemu dengan Joko S Tjandra," kata Kurnia.
"Selain itu, dalam proses hukum ini pula publik bisa melihat betapa KPK melakukan pembiaran atas penanganan perkara yang penuh dengan konflik kepentingan," tambah dia.
Diketahui, Kejagung memastikan tak mengajukan kasasi perkara terdakwa Pinangki Sirna Malasari. Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat Riono Budisantoso mengatakan, tim penuntutan sudah mengkaji masalah hukum dan menyatakan tak lagi perlu mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung (MA), untuk melawan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang mengurangi masa hukuman terhadap mantan jaksa tersebut.
“JPU (Jaksa Penuntut Umum), memastikan tidak mengajukan permohonan kasasi ke MA,” kata Riono dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Senin (5/7).
Dengan tak mengajukan kasasi ke MA, tim penuntutan kejaksaan, artinya menerima putusan banding PT DKI Jakarta yang mengubah vonis Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus) terhadap Pinangki. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dalam putusan bandingnya, Senin (14/6) mengubah amar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta yang menghukum Pinangki 10 tahun, menjadi hanya empat tahun penjara.
Padahal, dalam putusan pengadilan tingkat pertama, hakim memvonis mantan jaksa itu bersalah menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS, setara Rp 7,5 miliar dari terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Pemberian uang tersebut, agar Pinangki membuat proposal fatwa MA, untuk membebaskan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali 1999 tersebut.
Selain terbukti menerima suap, PN Tipikor juga membuktikan Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai 375,2 dolar AS. Uang tersebut, bagian dari pemberian Djoko Tjandra. Akan tetapi, Pinangki mengajukan banding atas putusan PN Tipikor itu. Selanjutnya, PT DKI Jakarta mengubah putusan untuk Pinangki, berupa pengurangan hukuman menjadi hanya empat tahun. Putusan banding itu, sebetulnya sesuai dengan tuntutan JPU saat sidang tingkat pertama.
Alasan PT DKI Jakarta merabat hukuman Pinangki dengan sejumlah pertimbangan. Dikatakan hakim tinggi dalam putusan bandingnya, hukuman 10 tahun penjara untuk Pinangki, terlalu berat. Mengingat, dikatakan hakim tinggi, saat sidang pertama, Pinangki mengakui menerima suap, dan gratifikasi senilai yang dituduhkan itu.
Hakim tinggi, juga mengatakan, pengurangan hukuman tersebut, karena sudah mendapatkan hukuman lain berupa pemecatan dari institusi kejaksaan. Menurut hakim tinggi, pun layak mendapat pengurangan hukuman, karena Pinangki adalah seorang perempuan yang memiliki tanggungan seorang anak balita.