Ahad 27 Jun 2021 21:00 WIB

Pakar Hukum Sebut Ada Tiga Cara Berhentikan Firli dari KPK

Setidaknya ada tiga cara hukum untuk melakukan pemberhentian terhadap Firli Bahuri.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dapat diberhentikan. Dia menyebut, setidaknya ada tiga cara hukum untuk melakukan hal tersebut.

"Apakah Firli Bahuri bisa diberhentikan dengan kejadian seperti ini (polemik TWK)? Ada tiga konteks yang dikenal oleh hukum. Pertama pemberhentian langsung," kata Zainal dalam sebuah diskusi daring, Ahad (27/6).

Dia melanjutkan, dua cara lain berdasarkan konstitusi yaitu perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dia menjelaskan, pasal 32 Ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK disebutkan pimpinan dapat diberhentikan salah satunya dengan alasan telah melakukan perbuatan tercela.

Terkait tes wawasan kebangsaan (TWK), Zainal mengatakan, Dewan Pengawas (Dewas) KPK perlu melihat konteks tercela dalam makna yang lebih luas. Menurutnya, konteks perbuatan tercela di Indonesia hanya kerap dikaitkan dengan perbuatan asusila, berbeda dengan konteks di luar negeri.

Dia menilai, kalau makna perbuatan tercela diperluas bisa menjadi dasar bagi Dewas KPK untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian. Dia melanjutkan, saksi diberikan dengan mengacu pada pasal 32 UU KPK huruf terakhir.

Zainal mencontohkan, perbuatan tercela dengan konteks yang diperluas misalnya ketahuan berbohong di bawah sumpah dan tidak menjalankan sumpah sebagai pimpinan KPK. Dia mengatakan, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela dalam konteks pemahaman hukum di luar negeri.

"Tapi kalau kita mau masuk pada konteks perbuatan tercela ada ketergantungan besar kepada keberanian Dewas untuk lebih terbuka melihat konteks perbuatan yang dimaksud, apakah berhenti pada mengkomparasikan pada ketentuan hukum nasional atau hukum di luar negeri," katanya.

Seperti diketahui, TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu 'sukses' menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat berdasarkan tes tersebut.

Puluhan pegawai TMS kemudian melaporkan pelaksanaan TWK ke Komnas HAM, Ombudsman hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai ada pelanggaran HAM, malaadministrasi serta bertentangan dengan putusan MK dalam tes tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement