REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) mengungkap adanya ketimpangan vaksin Covid-19 antarnegara di dunia. Keterbatasan persediaan serta tingginya kebutuhan masyarakat menjadi penyebab ketimpangan.
"Ada negara-negara yang sudah dapat memvaksin sampai sekitar 50 persen penduduknya dan ada negara-negara yang bahkan belum menyentuh angka 5 persen dari yang ditargetkan," kata Anggota IAVG dari Asia, Prof Tjandra Yoga Aditama, melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (26/6).
Tjandra mengatakan situasi itu terungkap dalam agenda pertemuan secara virtual 12 anggota IAVG dengan pimpinan tertinggi WHO, Direktur Jenderal Dr Tedros yang didampingi beberapa pimpinan organisasi itu pada Jumat (25/6) malam. Untuk membantu ketersediaan vaksin di dunia, kata Tjandra, WHO, UNICEF, GAVI, dan CEPI menyelenggarakan program COVAX yang melibatkan IAVG.
Anggota IAVG bersifat independen, tidak mewakili negara atau institusi tertentu, dan dipilih berdasar pengalaman dan kepakarannya, kata Tjandra. Walaupun tidak mewakili negara, katanya, pada dasarnya ada juga keseimbangan antarbenua.
Tjandra mewakili Anggota IAVG dari Asia dan ada pula pakar dari tiga negara Asia lain, yaitu Jepang, Singapura dan India. "Tentu ada anggota dari kawasan Eropa, Amerika dan Afrika," katanya.
Tjandra mengatakan sejauh ini IAVG sudah memvalidasi pemberian vaksin AstraZeneca ke banyak negara, termasuk ke Indonesia yang juga sudah digunakan di sejumlah daerah. "Dalam pekan mendatang, diperkirakan akan ada rapat lagi untuk membahas validasi pembagian vaksin Pfizer, di mana Indonesia juga jadi salah satu calon penerimanya sekiranya segala prosedur berjalan dengan baik," kata Tjandra.
Walaupun grup IAVG bersifat independen dan tidak mewakili negara, Tjandra menyampaikan secara diplomatis tentang kebutuhan vaksin Indonesia. Ia menyampaikan pula perkembangan kasus yang meningkat saat ini.
"Dalam jawabannya, Dirjen WHO ternyata juga sudah mengetahui perkembangan kasus di negara kita, dan secara spesifik menyebut tantangan yang dihadapi Indonesia. Selain menyebut juga beberapa masalah di negara lain," katanya.
Dirjen WHO, kata Tjandra, sangat menyayangkan kurangnya komitmen politik pada negara-negara yang punya banyak vaksin untuk membaginya ke negara lain yang amat membutuhkan, antara lain lewat mekanisme COVAX ini. "Dr Tedros menyampaikan bahwa peran IAVG tentu jadi berat karena tugasnya memvalidasi pembagian vaksin, tetapi sumber pemasukan vaksin amat terbatas," katanya.
Menurut Tjandra, Dirjen WHO juga menyebut bahwa ketimpangan kesempatan vaksin antara negara adalah masalah kemanusiaan dan membuat orang menjadi korban karena tidak mendapat vaksin yang diperlukan. Di akhir pertemuan, katanya, Dirjen WHO mengimbau kepada anggota IAVG untuk turut menyuarakan situasi ketimpangan ketersediaan vaksin di dunia.
"Ini adalah tanggung jawab kemanusiaan kita sebagai warga dunia," kata Tjandra.