Jumat 18 Jun 2021 17:44 WIB

Pengangkatan Guru Honorer Jadi Abdi Negara Hanya Angin Surga

Program satu juta pengangkatan guru honorer diprediksi tidak akan tercapai.

Guru honorer menggelar aksi unjuk rasa (ilustrasi)
Foto:

Guru Besar UNJ ini pun menagih komitmen pemerintah karena pengangkatan guru honorer adalah domainnya pemerintah. "(Penyelesaiannya) komitmen pemerintah dibuka dibuka semua, jangan dihalang-halangi (penerimaan). Itu kewenangan pemerintah, jika guru honorer diberikan kewenangan dan jelas pendanaannya ya pada mendaftar," ucap Prof Unifah.

photo
Sejumlah guru honorer melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara untuk bertemu Presiden Joko Widodo di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (26/4/2021). Aksi jalan kaki tersebut menuntut pembayaran gaji guru honorer yang belum dibayarkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi dari Januari 2021. - (Antara/Fakhri Hermansyah)

Sulitnya tercapai target rekrutmen satu juta guru honorer juga dikomentari Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo. Ia berkata, pemerintah daerah ragu mengajukan PPPK sebanyak-banyaknya karena masalah anggaran. Sebab, info yang disampaikan dari pemerintah pusat, gaji PPPK berasal dari APBN yang akan ditransfer khusus ke pemerintah daerah. Namun, kenyataannya PPPK diambil dari APBD yang dikhawatirkan akan memberatkan beban pemda.

"Karena itu, PPPK tidak mencapai target. Banyak sekali pemerintah daerah yang ragu mengajukan sebanyak mungkin (PPPK) karena akan menyedot anggaran mereka. Padahal, dunia pendidikan membutuhkan guru banyak sekali," ujar dia.

Ketidakpastian pengangkatan menjadi PNS itu pun berimbas pada rendahnya kesejahteraan guru honorer. Bicara kesejahteraan guru honor, Heru berpendapat pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan perekonomian kepada guru honorer. Namun, sampai sekarang belum tersentuh dengan baik.

"Jadi, artinya pemerataan (honor) bagi guru honorer belum kelihatan, kecuali pemerataan penghasilan guru honorer di sekolah negeri yang berasal dari BOS, itu ada aturannya," kata Heru dalam sambungan telepon, Rabu (16/6).

Ia menjelaskan, pemberian honor kepada guru honorer tergantung sekolah masing-masing. Sekolah swasta yang bonafit, kata dia, bisa memberikan honor yang bagus, termasuk sekolah yang anggarannya bagus memberikan honor tidak tetap yang bagus.

"Tapi, sekolah yang anggarannya minim, tentu memberikan honor yang kurang kepada gurunya."

Pemerintah pada 2021 membuka lowongan untuk satu juta guru melalui seleksi PPPK. Rekrutmen yang diprioritaskan untuk guru honorer agar bisa menjadi PNS itu dinilai sebagai solusi untuk mengatasi kebutuhan guru di Indonesia. Namun, hingga Juni 2021 baru sekitar 500 ribu yang tercapai dari target satu juta.

Dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan (Kemendikbud), jumlah guru dan tenaga kependidikan di seluruh Indonesia berdasarkan status kepegawaian mencapai 3.357.935. Rinciannya yang berstatus PNS (1.607.480), guru honorer sekolah (728.461), sisanya berstatus guru bantu tidak tetap, dan lain-lain.

Dari Gedung Parlemen, suara dukungan terhadap nasib guru honorer datang dari anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha. Namun, ia meminta organisasi-organisasi guru bersatu dan merapatkan barisan demi tercapainya tujuan guru honorer diangkat menjadi abdi negara.

"Di Indonesia itu banyak organisasi guru. PGRI, IGI, dll, tapi entah mengapa mereka sulit untuk bersatu. Barangkali itu pula salah satu penyebab mengapa perjuangan nasib bagi guru honorer tak kunjung beres," kata Abdul Rachman ketika berbincang dengan Republika.

Ia mengungkapkan, DPD terus memberikan dukungan kepada para guru honorer. Namun, DPD juga menunggu gedoran dari seluruh organisasi guru. "Jadi, jelas, di DPD saya akan ikhtiarkan. Tapi, terus terang, gedoran dari seluruh organisasi guru juga kami tunggu. Bolehlah untuk isu yang satu ini mereka merapatkan barisan," ucap senator kelahiran Palu ini.

photo
Abdul Rachman Thaha, anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah. - (Dok pribadi)

Pada sisi lain, ia mengaku khawatir kebutuhan Indonesia akan penambahan guru permanen tampaknya akan terkendala. Secara umum, pandemi juga berimbas ke seberapa pentingkah bangunan sekolah dan tenaga guru. "Guru seperti tergantikan oleh aplikasi-aplikasi belajar mandiri. Situasi yang sama juga berlangsung pada ASN di sekian banyak sektor pelayanan publik," kata Abdul Rachman.

Alhasil, pemerintah tampaknya juga perlu jujur. Krisis kesehatan yang meluas ke krisis keuangan mengharuskan pemerintah menyetop perekrutan guru, apalagi sebagai ASN. "Paling tidak untuk sementara waktu. Fokus saja pada guru-guru honorer yang sudah eksis sekarang ini," ujar peraih gelar Dokter di Universitas Muslim Indonesia Makassar ini.

Menyoal rekrutmen 1 juta guru honorer, ia menyatakaan tingginya animo masyarakat, apalagi di zaman susah seperti sekarang, pasti tinggi. Ia mengaku khawatir jika nantinya pemerintah sendiri kerepotan bahkan 'melupakan' ekspektasi para guru tersebut, kekecewaan bakal sangat tinggi pula.

"Kembali ke analisis kebutuhan dan kemampuan. Apa betul kita butuh jutaan guru honorer baru dengan situasi belajar mengajar seperti sekarang? Juga apa betul ada kesiapan anggaran untuk itu? Pendidikan memang persoalan fundamental. Tapi lagi-lagi di situasi pandemi begini, tampaknya ada hal-hal lain yang lebih fundamental lagi," kata dia menerangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement