Rabu 16 Jun 2021 11:43 WIB

Rokok Eceran Diduga Jadi Alasan Perokok Anak Bertambah

Jika tidak segera dikendalikan, angka ini diperkirakan meningkat mencapai 16 persen.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Mas Alamil Huda
Pedagang menata rokok di sebuah toko, pasar Minggu, Jakarta. (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menata rokok di sebuah toko, pasar Minggu, Jakarta. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Periset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PJKS-UI), Risky Kusuma Hartono, mengatakan, prevalensi perokok anak dari tahun 2013-2018 mengalami peningkatan sebanyak 9 persen. Jika tidak segera dikendalikan, angka ini diperkirakan akan meningkat mencapai 16 persen.

Risky mengatakan, salah satu alasan yang menyebabkan kenaikan prevalensi perokok anak ini disebabkan oleh penjualan rokok ketengan atau eceran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim PJKS-UI di DKI Jakarta, masih terdapat warung rokok dengan radius di bawah 100 meter di sekitar area sekolah yang menjual rokok eceran.

Ia menjelaskan, jika dilihat berdasarkan jenjang, terdapat warung rokok eceran yang memiliki radius dekat dengan sekolah yakni di SD sebanyak 21 persen. Sementara untuk jenjang SMP sebanyak 26 persen, dan SMA/SMK sebanyak 15 persen.

"Ada peningkatan dari 21 persen yang dekat dengan SD, dan 26 persen yang dekat dengan SMP. Dibandingkan ini dengan data Riskesdas, dimana ada peningkatan jumlah prevalensi perokok anak dari SD ke usia SMP, hal ini dimungkinkan penyebabnya adalah dari banyaknya warung rokok di sekitar area tersebut," kata Risky dalam diskusi virtual, Rabu (16/6).

Ia mengatakan, lokasi sekolah masih memiliki akses yang mudah untuk pembelian rokok batangan. Tim PJKS-UI juga mempertajam penelusuran dengan membedakan sekolah negeri dan swasta. Risky menjelaskan, hasilnya didapat bahwa lokasi sekolah swasta lebih terpapar warung rokok.

Terkait hal ini, tim PJKS-UI mendorong agar pemerintah melakukan revisi PP 109/2012 tentang regulasi rokok agar juga melarang penjualan rokok secara batangan. Rokok batangan, kata Risky, cukup terjangkau karena rata-rata penjualan selama satu pekannya mencapai di atas 300 batang dengan kisaran Rp 1.500 per batang.

"Efektivitas kenaikan harga minimum rokok pada kebijakan cukai tidak akan optimal jika penjualan rokok batangan masih diperbolehkan, karena rokok batangan masih mudah diakses, terjangkau dan merk yang terlaris diperbolehkan terjual secara batangan," kata Risky menjelaskan.

Selain itu, pemerintah pusat dan daerah perlu mendorong penerapan restriksi penjualan rokok secara eceran khususnya di lokasi yang dekat dengan area sekolah. Regulasi penjualan rokok perbungkus pun perlu diperketat. Risky juga mendorong pihak sekolah untuk melakukan pengawasan kepada siswa agar tidak merokok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement