REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, adanya anggapan pasal terkait penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP sama dengan menghidupkan kembali pasal yang dimatikan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah.
"Ini adalah sesuatu kekeliruan," kata guru besar UGM itu di Jakarta, Senin (14/6). Pertama, kata dia, yang dimatikan MK adalah delik biasa, padahal yang disusun pemerintah dan DPR terkait penghinaan presiden dan wakil presiden adalah delik aduan.
Kedua, ada yang beranggapan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak perlu ada. Hanya saja, cukup dimasukkan ke dalam pasal penghinaan atau pencemaran nama baik secara umum sebagaimana yang ada dalam Pasal 310 sampai 321 KUHP.
Edward berpandangan, jika pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dihapus dan dimasukkan ke dalam pasal penghinaan secara umum, sebaiknya pasal tentang makar dihapus. "Toh, makar itu adalah pembunuhan terhadap presiden dan wakil presiden," kata dia.
Oleh sebab itu, dia menambahkan, perlu diketahui presiden merupakan simbol negara dan personifikasi dari suatu negara sehingga perlu diatur secara khusus. Secara umum, isu tentang KUHP materi muatannya hampir sama di seluruh dunia, kecuali tiga hal.
Pertama, mengenai delik politik. Dalam KUHP Indonesia sama sekali tidak ada bab yang berjudul delik politik. Hal itu berbeda dengan Prancis yang memiliki delik politik. Kedua, yang menjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain adalah menyangkut kesusilaan. Dalam KUHP China tidak ada satu bab yang tertulis kejahatan terhadap kesusilaan.
Terakhir adalah masalah penghinaan atau pencemaran nama baik. Antara satu negara dan yang lain akan berbeda. Dengan begitu, jika berbicara mengenai penghinaan terhadap presiden, tidak bisa membandingkannya dengan negara lain.
"Kita sedang membuat KUHP Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multireligi, bukan KUHP Prancis, Amerika Serikat, dan lain sebagainya," kata Edward.