Kamis 10 Jun 2021 17:44 WIB

Beli Mobil Bisa Bebas Pajak, Mengapa Sembako Mau Dipajaki?

Dalam draf revisi UU KUP, kebutuhan pokok akan dikenakan pajak pertambahan nilai.

Pedagang merapikan barang dagangan di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Kamis (10/6). Pemerintah berencana akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto:

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum dibahas ke tingkat paripurna dan DPR. Hal ini mengingat rancangan KUP belum disebarluaskan dan dilakukan pembahasan.

“Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden. Kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, sehingga kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (10/6).

Bendahara negara itu juga mengaku heran rancangan RUU KUP dapat muncul ke publik. Sedangkan isi yang keluar dibuat sepotong-potong seolah tidak mempertimbangkan situasi saat ini.

“Pemerintah tengah fokus dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi jadi kita betul-betul menggunakan semua instrumen APBN," ucapnya.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan pemerintah tak akan membabi buta untuk menaikkan tarif PPN dan memperluas objek pajak.

"Sembako kok dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, tidak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta," ungkap Yustinus dalam cuitannya lewat akun Twitter @prastow seperti dikutip Rabu (9/6).

Menurutnya, pemerintah tak akan berbuat konyol dalam menetapkan kebijakan. Hal ini disebabkan pemerintah sedang memperjuangkan pemulihan ekonomi pasca dihantam pandemi Covid-19.

"Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian dibunuh sendiri. Mustahil," tegas Yustinus.

Terkait dengan reaksi berbagai lapisan masyarakat terhadap rencana kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen, Yustinus mengaku bisa memakluminya. Namun, dia menegaskan pemerintah harus mengoptimalkan penerimaan pajak.

"Pemerintah mengajak pemangku kepentingan untuk bersama-sama memikirkan, jika saat pandemi bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pascapandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak," ucapnya.

Menurutnya optimalisasi pajak juga sudah dilakukan di beberapa negara lain meski pandemi Covid-19 masih merebak seperti di Amerika Serikat. Presiden AS Joe Biden kata Yustinus berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21 persen menjadi 28 persen. Lalu, Inggris akan mengerek tarif PPh badan dari 19 persen menjadi 23 persen.

"Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk memikirkan optimalisasi pajak agar keberlanjutan," terang Yustinus.

Sementara itu Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor enggan berkomentar banyak terkait poin-poin perubahan dalam draf revisi UU KUP tersebut.

"Sementara ini kami masih menunggu pembahasan terkait hal-hal di dalam RUU KUP tersebut. Harap maklum," ucapnya.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai kebijakan pengenaan PPN terhadap kebutuhan pokok menimbulkan tanda tanya karena kebutuhan bahan pokok merupakan bahan konsumsi dasar dari semua kelompok golongan masyarakat. Hal ini juga karena kebutuhan pokok sifatnya barang strategis yang seharusnya tidak menjadi objek pajak.

“Saat ini pemerintah dalam upaya melakukan konsolidasi fiskal dan penarikan barang-barang yang tadinya dikecualikan dari PPN menjadi potensi yang digarap, namun saya kira bahan kebutuhan pokok seharusnya bukanlah sesuatu dikenakan PPN,” ujar Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet ketika dihubungi Republika, Kamis (10/6).

Menurutnya, pemerintah bisa fokus pada barang lainnya seperti misalnya barang hasil pertambangan dan hasil pengeboran seperti misalnya batubara. Sebab selama ini bahan pokok yang dikecualikan PPN sebelumnya pergerakan harganya umumnya dipengaruhi dari distribusi barang, seperti biaya tanam, dan lainnya yang terbentuk pada harga pokok produksi.

“Tentu dengan wacana dikenakan PPN pada bahan pokok, bisa menambah harga pokok produksi. Hal ini kemudian besar potensinya akan berdampak pada harga bahan pangan tersebut,” ucapnya.

Jika melihat dampak ke penjual menurutnya tentu ada penyesuaian dari sisi harga pokok penjualan (HPP) dan dari sisi penjual ada biaya harga tambahan yang harus ditanggung pembeli. Menurutnya, pemerintah bisa saja berargumen kenaikan hanya marginal (10 ke 12 persen), tapi itu terhadap satu barang, padahal kalau kita lihat ada 14 kategori barang dari kelompok bahan pokok yang sebelumnya dikecualikan dalam PPN.

“Tentu jika diakumulasi, kenaikannya akan  menjadi beban khususnya kelompok masyarakat menengah bawah. Apalagi jika kesejahteraan kelompok masyarakat ke bawah belum kembali seperti sebelum terjadinya pandemi,” ucapnya.

 

photo
Rasio pajak Indonesia rendah dan penerimaan pajak turun - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement