Sabtu 05 Jun 2021 02:05 WIB

Usia Perokok Pemula Semakin Muda

Usia seseorang mulai merokok kini dimulai sejak 10 tahun.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Indira Rezkisari
Rambu larangan merokok dipasang di Taman Sejarah, Kota Bandung. Survei temukan usia perokok pemula bertambah muda di Indonesia.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Rambu larangan merokok dipasang di Taman Sejarah, Kota Bandung. Survei temukan usia perokok pemula bertambah muda di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, mengatakan saat ini penetrasi industri rokok di Indonesia semakin merajalela. Ia mengatakan, jumlah perokok belia di Indonesia sangat mengkhawatirkan karena usia awal orang pertama kali merokok saat ini bertambah muda.

Perokok pemula sebelumnya mulai pertama kali merokok pada 15-19 tahun. Namun, saat ini, usia seseorang mulai merokok bertambah muda yakni usia 10-14 dan jumlahnya semakin banyak.

Baca Juga

Tidak hanya itu, berdasarkan data dari World Population Review, rata-rata laki-laki merokok di Indonesia tertinggi di dunia yaitu 76 persen. Sebelumnya, persentase laki-laki merokok terbanyak ada di negara Yordania.

"Ini tentu saja mengkhawatirkan karena pada umumnya di hampir semua negara di dunia, smoking rate ini menurun. Kalau kita masih naik terus. Jadi betul-betul Indonesia itu surga buat industri rokok," kata Faisal, dalam diskusi daring, Jumat (4/6).

Terkait hal ini, Faisal mendorong adanya revisi regulasi rokok yaitu PP Nomor 109 Tahun 2012. Namun, revisi ini memang mengundang kontroversi dari berbagai pihak dan disebut akan merugikan petani. Menurut Faisal, revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 merugikan petani hanyalah mitos.

Ia menjelaskan, jika revisi dilakukan, maka pabrik rokok tidak akan langsung mengurangi pembelian dari petani tembakau. Sebab, produksi tembakau di Indonesia jauh lebih rendah dari kebutuhan pabrik rokok yang sedang beroperasi saat ini.

"Produksi tembakau lokal itu 200 ribu ton, kebutuhannya sekitar 300 ribu ton. Jadi, seluruh produksi nasional bakal terserap oleh industri pengguna tembakau," kata Faisal menambahkan.

Selain itu, poin lain yang masih menimbulkan keraguan dalam revisi regulasi rokok ini adalah risiko munculnya rokok ilegal yang semakin marak. Menurut Faisal, maraknya produk ilegal bukan hanya terjadi pada rokok. Oleh karena itu, penting untuk memberdayakan aparat penindak barang-barang ilegal.

Ia juga menyinggung soal ketakutan berkurangnya penerimaan negara jika regulasi rokok direvisi. Faisal berpendapat, tugas hakiki negara adalah mendorong penciptaan nilai, bukan pengerukan nilai. Jika terus mementingkan penerimaan daripada kesehatan maka menurutnya hal ini sudah melanggar nilai.

"Kalau pemerintah terus mengandalkan penerimaan rokok, artinya ekstraksi nilai yang tidak beradab karena tidak mengedepankan kesehatan," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement