REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hotman Tambunan mengatakan, sudah saatnya seluruh pejabat negara mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dia mengatakan hal ini mengingat TWK menjadi alat ukur bagi Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dalam menyeleksi warga yang akan menjadi ASN.
"Nah, kalau menurut BKN alat ukurnya telah sangat valid, maka sudah saatnya pejabat menggunakan alat ukur itu," kata Hotman Tambunan di Jakarta, Rabu (2/6).
Dia mengatakan, sebagai pejabat negara tentu harus menyatakan kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dia melanjutkan, hal tersebut juga disinggung dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang syarat menjadi gubernur, bupati, DPRD, DPR, wakil presiden, dan presiden.
Hotman mengatakan, BKN menggunakan TWK sebagai dalih untuk mengukur para pegawai KPK soal kesetiaannya pada Pancasila UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurutnya, hal itu berbeda dengan alat ukur yang dipakai para pejabat negara lainnya.
"Mereka itu (gubernur, bupati, DPRD, DPR, wakil presiden, dan presiden) alat ukurnya cuma satu, yaitu surat pernyataan kesetiaan terhadap empat tadi," katanya.
Seperti diketahui, TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.
Pada akhirnya, sebanyak 1271 pegawai KPK tetap dilantik sebagai ASN pada Selasa (1/6) lalu. Pelantikan dilakukan di tengah desakan dari pegawai lembaga antirasuah tersebut untuk menunda peresmian alih status pegawai yang dimaksud.
Lebih dari 600 pegawai berstatus MS meminta pelantikan dilakukan hingga ada penyelesaian atas polemik 75 pegawai TMS. Sebagian besar pegawai MS itu menilai bahwa pemberhentian 75 pegawai tersebut bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan perintah Presiden Joko Widodo.