Selasa 01 Jun 2021 21:24 WIB

Islam dan Pancasila Mengapa Selalu Dibenturkan?

Yang mengadu domba Pancasila dan Islam hanya kaum Komunis.

Petugas saat melintas di dekat patung pahlawan revolusi di Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, Selasa (29/9). Tempat tersebut nantinya akan dijadikan lokasi upacara untuk peringatan Hari Kesaktian Pancasila sekaligus mengenang korban dalam peristiwa G30S/PKI khususnya tujuh pahlawan revolusi pada 1 Oktober mendatang. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Pancasila sebagai Titik Temu Agama-Agama

Bagi saya menyebut Agama adalah musuh Pancasila merupakan sikap dan perilaku anti Pancasila yang tidak selaras dengan nilai-nilai dan ajaran Pancasila. Orang yang menyebut itu bisa dibilang tidak pantas untuk untuk menduduki jabatan apa pun, karena di dalam jiwanya ada semangat anti-Pancasila.

Seharusnya Yudian Wahyudin sebagai seorang guru besar harus mampu mendamaikan suasana, apalagi jabatannya sebagai kepala BPIP yang katanya sebagai pembina Ideologi. Pancasila itu adalah titik temu bagi semua agama dan perbedaan dalam NKRI.

Risalah Perdebatan panjang konstituante dapat dijadikan pelajaran bagaimana menghasilkan perdebatan yang bermutu. Ada yang menarik dalam adu argumentasi itu, ketika Mononutu menyampaikan sebuah pidato yang disambut hangat oleh Mohammad Natsir.

Alnord Mononutu adalah seorang Kristen yang baik, anggota konstituante dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Mononutu tidak menyebutkan Pancasila digali dari Masyarakat Indonesia, ia justru menyebut Intisari dari ajaran Injil.

Sementara Natsir adalah tokoh Islam yang paling berpengaruh, tokoh penting Partai Masyumi, jauh-jauh hari sebelum sidang Konstituante menyebut Pancasila dan ajaran Islam adalah merupakan satu kesatuan yang tidak bertentangan satu sama lain. Ketika berpidato di Pakistan maupun dalam berbagai tulisannya.

Natsir menegaskan pendiriannya itu dalam sidang konstituante dan mengatakan bahwa Pancasila merupakan point of referensi dari semua sila yang ada di sila ke empat. Sejalan dengan Natsir, Mononutu Dalam pidato yang disambut dengan penuh suka cita oleh Natsir itu (Lukman Hakim 2019), Mononutu dengan tegas berkata: “Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bagi kami, pokok dan sumber dari lain-lain sila. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa,Pancasila akan menjadi filsafat materialistis belaka.”

Akan tetapi, yang penting menurut Mononutu ialah bahwa Pancasila sebagai realisasi dari jalan pikiran monistis bangsa Indonesia adalah dasar negara yang bersifat religieus-monistis, adalah “titik pertemuan dari segala golongan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, apapun juga Nabi golongan itu masing-masing.”

Dengan riang gembira, Natsir menyambut pidato Mononutu: “Bukankah ini berarti, Saudara Ketua, kalau sudah demikian, di sinilah kita sampai pada satu titik pertemuan antara umat Kristen dan umat Islam, yakni sama-sama hendak mencari dasar negara yang bersumberkan kepada wahyu Ilahi. Baik yang melalui Injil ataupun melalui Quran.

Kisah kedua tokoh yang berbeda agama dalam sidang konstituante tersebut menjadi bukti nyata bahwa Pancasila dan agama merupakan dua hal yang tidak bertentangan satu dengan yang lain. Pancasila telah mempertemukan dua front besar yang selama ini berbeda, tempat bersepakatnya orang-orang beragama, dan agama menjadi sumber nilai bagi Pancasila. Maka Mononutu enggan menyebut Pancasila digali dari masyarakat Indonesia, melainkan Intisari dari ajaran Injil.

Sementara golongan Islam menganggap Pancasila adalah manifestasi dari nilai-nilai Islam yang dirumuskan mayoritas tokoh-tokoh Islam baik itu dalam sidang BPUPKI maupun PPKI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement