REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bernegosiasi langsung dengan pabrik untuk modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista) layak didukung. Menurutnya, upaya ini bisa mempersempit ruang gerak mafia Alutsista.
Sebelumnya, beredar rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpalhankam) Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di dalam draf Perpres tersebut, terdapat jumlah biaya rencana kebutuhan (Renbut) yang mencapai angka 124,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.760 triliun.
Fahmi mengatakan, ada sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan jika pemenuhan kebutuhan alutsista ini akan menggunakan skema pinjaman luar negeri. Yakni, soal tenor dan bunga pinjaman.
"Selain itu, diplomasi pertahanan harus terus dilakukan untuk menjajaki peluang pinjaman berbunga rendah dengan tenor panjang. Setidaknya dua persen dengan tenor minimal 12 tahun agar tidak membebani negara," tutur Fahmi dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Sabtu (29/5).
Menurut Fahmi, melihat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun, hanya sekitar 11,4 persen jika dibandingkan dengan angka yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista selama 25 tahun. “Apalagi jika angka Rp 15.434,2 triliun itu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, maka persentase jumlah yang direncanakan tersebut dari PDB akan tampak makin kecil lagi. Hanya 0,7 persen setiap tahunnya,” ujar Fahmi.
Artinya, kata dia, jika rancangan itu disetujui Presiden Joko Widodo, pemerintah harus mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5 persen dari PDB per tahun. Asumsinya, sebanyak 0,78 persen bersumber dari anggaran reguler dan sekitar 0,7 persen bersumber dari pinjaman luar negeri. Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab. Pembangunan kesejahteraan terus berjalan, pembangunan pertahanan dapat ditingkatkan.
Pertimbangan lainnya, yakni, Fahmi mendorong agar kemampuan negosiasi juga harus ditingkatkan. Sebab dalam belanja impor ada skema transfer teknologi, kerja sama produksi, hingga fasilitas pemeliharaan dan perbaikan yang harus dipertimbangkan. "Ini harus dilihat mana yang paling menguntungkan," ujarnya.
Menurut Fahmi, hal itu harus dibarengi dengan sejumlah langkah. Misalnya, penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). "Nah ini belum tergambar dari draf Perpres yang beredar," kata Fahmi.
Fahmi mengatakan, menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, KKIP yang dibentuk melalui Perpres Nomor 42 Tahun 2010 harus menjadi tempat bertemunya stakeholder terkait pengadaan Alpalhankam. Yaitu, pengguna sebagai perencana kebutuhan, industri pertahanan sebagai penyedia, serta elemen pemerintah yang berperan sebagai fasilitator anggaran dan litbang sekaligus sebagai penyusun dasar hukum.
Susunan keanggotaan KKIP menurut Perpres Nomor 42/2010 yakni, Ketua KKIP adalah Menteri Pertahanan, wakil ketua adalah Menteri BUMN, sekretaris adalah Wakil Menteri Pertahanan dan anggotanya adalah Menteri Perindustrian, Menteri Riset dan Teknologi, Panglima TNI, dan Kapolri. Menurut Fahmi, hal ini sebenarnya sudah selaras dengan rancangan Perpres yang beredar, meskipun tak disebutkan sebagai KKIP.
Fahmi berharap, KKIP dapat memfasilitasi upaya koordinasi dalam pengadaan Alpalhankam yang selaras dengan cita-cita kemandirian melalui pembangunan industri pertahanan. "Di samping itu, koordinasi juga penting untuk menyelaraskan kebijakan dalam pengembangan sumber daya, pembangunan industri pendukung, upaya penyehatan industri pertahanan nasional, harmonisasi regulasi, dan lain-lain," tegasnya.
Ia menambahkan, rancangan itu juga harus dilanjutkan dengan pengaturan soal keterlibatan pihak ketiga. Hal ini dibutuhkan sebagai bagian dari upaya membangun koordinasi antarstakeholder pengadaan Alpalhankam. Pihak ketiga yang terlibat, yaitu agen perusahaan luar negeri. Dengan adanya pengaturan terhadap pihak ketiga, menurut Fahmi, para agen ini tidak lagi menjadi pihak luar yang aktivitasnya tidak dapat diawasi dan dikendalikan.